12.30.2009

Tidak Kenal Titik

Mengejar bahagia. Setiap pagi sepanjang jalan menuju ke kantor seringkali ku bertanya-tanya. Untuk apa pergi sepagi ini? Menghindari macet? Mengurangi stress? Atau karena mengejar nafkah di kantor sana? Sejak matahari mengintip usai subuh hingga matahari meninggi, jalan raya ini selalu saja bising. Padat. Kendaraan mengular. Saling seruduk dan saling sikut. Lampu merah yang seharusnya seperti pintu bendungan air yang mengatur debit pun kadang tak lagi berkuasa. Di sepanjang jalan itu juga mata ini genit. Menelanjangi satu satu mobil 'mewah' yang terlihat 'wah'. Sementara saya berpanas dan berangin-angin di luar. "Enak sekali di dalam mobil itu...." pikirku. Sementara di dalam mobil si pengendara bisa saja sedang mengejar deadline kerja dan tumpukan kewajiban. Dia sedang menggerutui kepadatan jalan yang membuatnya tertahan. Lalu ia berbisik dalam hati, "Saya rindu masa lalu. Ketika kerjaan tak sebanyak sekarang. Ketika waktu keluarga tak banyak dibajak. Dan ketika bisa menyalip kepadatan lalu lintas dengan motor tuaku dulu". Sambil bergumam dalam hati, ia pandangi diriku yang dengan 'pongahnya' melaju di sela-sela padatnya kendaraan. "Kalau saja aku seperti dia", sambungnya. Kendaraan mewah, rumah megah, uang segudang, perhiasan se-brankas, tanah hektaran, jabatan menyilaukan, keturunan membanggakan, pendamping hidup menyenangkan.... "Dunia itu kalau dikejar enggak akan ada habisnya nak..." kata Bapak satu waktu kepadaku. Lain waktu, kala aku merengek minta dibelikan tembak-tembakan keren seperti yang dimiliki anak tetangga, bapak bilang: "Lihat dunia jangan ke atas, lihatlah ke bawah...." Tuhan pun berulangkali mengingatkan, "Dunia ini hanya permainan dan senda gurau". Dunia memang tidak akan ada habisnya. Ketika dikejar dia berlari lebih kencang lagi. Ketika dipandangi, dia begitu menggairahkan. Begitu ada digenggaman, diri ini berharap bertelapak lebih besar lagi agar bisa meraup lebih banyak lagi. Dunia itu bukan perlombaan yang mengenal kata "finish". Dunia hanyalah candu yang terus membuai kita untuk berkata, lagi dan lagi. Hingga akhirnya candu itu melumpuhkan nurani, menggelapkan pikiran, dan membutakan penglihatan. Untuk apa sekolah tinggi? Untuk apa berprestasi? Untuk apa ber-gaji tinggi? Untuk apa semua-semua yang menggairahkan itu? Semakin kita kenal semua itu, semakin rakus saja jadinya. Waktu yang hanya 24 sehari pun habis untuk semua itu. Kalau saja bisa, kita mungkin akan meminta perpanjangan waktu dari Tuhan. Satu waktu seorang guru pernah bilang, "Harta itu hanya akan membuat pemilikya semakin sibuk menjaganya. Hanya ilmu lah yang sibuk menjaga pemiliknya". Harta ini memang hanya mempersibuk saja. Si mobil selalu merengek minta ini dan itu. Si Istri cantik juga begitu. Anak-anak sama saja. Rumah luas apalagi. Tanah segambreng pun pula. Lalu ku jadi bertanya, apakah ini kebahagiaan yang dulu diimpikan? Selalu kita teryakinkan bahwa dunia menjanjikan kebahagiaan. Tapi mengapa juga di pedalaman gunung sana banyak orang yang bisa tertawa lepas dengan hidup seadanya. Tanpa Blackberry, tanpa sedan Merc, tanpa rumah gagah, tanpa santapan wah, dan tanpa-tanpa lainnya yang wong kota punya. Kebahagiaan itu ternyata bukan ada di depan sana. Kebahagiaan sejatinya hanya dekat saja. Dia ada di sini. Di dalam diri ini. Ketika kita menyadari hakikat keberadaan kita. Siapa diri kita. Untuk apa hidup ini. Untuk siapa kita hidup. Dan akan ke mana usai mati. Dunia memang hanya koma yang tidak kenal titik. Kita adalah titik itu. Sebaik-baik makhluk ciptaan Tuhan. Bukan untuk digenggam dunia. Tapi dibekali-Nya kemampuan menggenggam dunia. Hingga kita tahu arti bahagia.