12.30.2009

Diuber Mati

Untuk apa hidup? Lahir, tumbuh, gagah, berkeluarga, beranak pinak, lalu mati? Itu saja? Setiap kita punya cara berbeda melihat yang telah lalu, sekarang, dan masa depan. Mau jadi apa. Ingin bagaimana. Mau melakukan apa. Mimpi, harapan, cita-cita, dan keinginan semua muncul bergantian. Dua hari lalu, saya bincang kecil dengan Ngadiono, pekerja di bengkel langganan. Usianya kepala empat. Punya anak empat dari satu istri. Keluarganya tinggal di Solo. Sementara Ngadiono di Jakarta. Mencari nafkah. Dia mengaku pendapatannya tidak seberapa. Tapi dia bersyukur atas itu. Paling tidak, ia bisa rutin mengirim uang ke keluarganya di Solo. Ya, di Solo. Keluarga yang ‘hanya’ dikunjunginya dua bulan sekali. “Hidup di Jakarta mahal mas”, katanya. Ngadiono hanya satu potret dari album kehidupan yang ada. Dia mengambil perannya sebagai seorang suami dari istri dan ayah dari empat anaknya. Bagi semua kepala rumah tangga, mencari nafkah tentu sebuah kewajaran. Karena dengan begitu ia bisa tunjukkan bahwa dirinya mampu menjawab satu dari sekian banyak tanggung jawab sebagai kepala rumah tangga. Ia bermanfaat dalam lingkup terkecil: keluarga. Ya, kita memang sedang menjalankan beraneka lakon. Tidak sedikit dari kita yang ingin berlakon wah. Mau punya titel dan jabatan mentereng, politisi terkenal, selebritis, atau jadi dai beken. Sah-sah saja tentunya. Karena kita berhak jadi apa saja. Atau paling tidak, kita berhak bermimpi untuk jadi apa saja. Tapi ngomong-ngomong, sudah beberapa bulan terakhir, banyak orang beken yang mati. Michael Jackson, Mbah Surip, WS Rendra, Kim Dae Jung, Corazon Aquino, dan yang paling gres, Senator gaek Amerika Serikat, Ted Kennedy. Satu kesamaan dari semua yang meninggal itu: kepergiannya mengundang simpati banyak orang. Waktu kecil, orang tua saya langganan majalah Amanah. Ada rubrik yang selalu saya baca. Isinya tentang profil sahabat pena. Selalu saja berulang tulisan di bagian cita-cita: “Ingin berguna bagi agama, nusa, dan bangsa”. Mungkin karena pengulangan-pengulangan itulah saya tak juga lupa kalimat itu. “Menjadi orang berguna” Banyak peran tersedia. Kita bebas memilihnya. Anda punya pilihan. Pun saya yang akhirnya memilih jadi wartawan. Waktu kuliah dulu, profesi ini begitu ‘menyilaukan’. Profesi yang mengajak kita untuk belajar setiap hari dan membaginya ke banyak orang. Saya juga kagum dengan cerita keberhasilan wartawan membongkar moral amburadul tokoh publik mulai korupsi sampai skandal seks. Tentu yang dilakukan bukan untuk kejar oplah, rating, atau ketenaran. Upaya itu sebatas untuk membuka fakta agar tidak adalagi pengkadalan orang biasa dari ulah penjahat tahta, harta, dan kelamin. Kita berburu dengan mati. Hingga pertanyaan nanti: untuk apa hidup ini dihabiskan? Waktu berlari cepat. Sekedipan saja si anak SD ke SMP lalu SMA kemudian Kuliah, bekerja, menikah, beranak pinak, tua, sakit-sakitan, dan innalillahi. Kemana hidup ini pergi? Untuk apa semua ini? Sudah berbuat apa? Teringat kata nabi: “Yang terbaik di antara kalian adalah yang paling bermanfaat buat manusia”. Sudahkah? Karena kita diburu mati.