12.30.2009

Jangan .... Lagi Sayang

Sudah hampir tiga bulan dia hanya di rumah. Wisuda tiga bulan lalu dari jurusan Biologi Universitas Padahal Ikip Bandung. Dia tidak melamar kerja kemana-mana. Karena adikku yang selalu ceria ini memang tidak berhasrat untuk kerja kantoran. 

Selama tiga bulan ia semedi di rumah. Bercengkerama dengan Bapak, Umi, dan De’ Wahid yang sudah 12 tahun terakhir jarang menghabiskan waktu bersama.

Farah adikku adalah anak keempat dari enam bersaudara. Di antara saudara-saudaranya yang lain, Farah paling jarang membuat masalah di rumah. Sejak di bangku Sekolah Dasar, prestasinya di bangku sekolah selalu menonjol.

Farah hampir selalu berada di top rangking. Tak jarang ia terpilih untuk mewakili sekolahnya dalam berbagai lomba ketangkasan otak. Waktu masih duduk di bangku SD, Farah sudah hapal satu juz dari alqur’an. Di banding saudara-saudaranya yang lain, Farahlah yang paling lama mukim di pesantren. Maklum, sementara lima saudara kandungnya yang lain mengenal pesantren usai lulus sekolah dasar, Farah sudah menjalani kehidupan pesantren sejak duduk di bangku kelas 5 SD.

Adikku ini memang luar biasa. Di manapun ia berada selalu membawa keceriaan. Wajar juga rasanya kalau ia punya banyak teman. Dan wajar juga rasanya kalau ia selalu dipilih teman-temannya untuk memimpin mereka. Di pesantren bahkan teman-temannya memanggilnya "Mamih".

Kecemerlangan adikku ini juga telah membuat persaudaraan tiga orang santri putra dedengkot pesantren agak terganggu. Ketiganya menyukai Farah, padahal mereka sudah tinggal satu kamar bertahun-tahun. Di antara ketiga orang itu, farah memilih satu di antaranya. Walhasil, hubungan persahabatan tiga sekawan itu pun gonjang-ganjing.

 Di kampusnya, ia juga memikat banyak pria. Tak tanggung-tanggung, seorang dosen bahkan terang-terangan menyukainya dan menginginkan adikku Farah untuk menjadi adik iparnya. Setelah 12 tahun lebih mondok dan lulus dari kuliahnya, Farah berencana mondok lagi. Rencananya memang tidak lama, hanya satu tahun. Tapi entah kenapa, terasa ada yang berbeda kali ini.

Sepuluh hari lalu bersama Bapak dan Umi, saya mengantarkannya. Pesantrennya di Cianjur. Tidak tahu cianjur sebelah mananya. Pesantren itu hasil rekomendasi salah seorang teman Farah di pesantrennya yang lama.

Berangkat dari rumah pukul sebelas, sampai di pesantren Cianjur pukul lima kurang. Cukup melelahkan. Lamanya waktu tempuh memang tidak kami sangka-sangka. Karena memang kami menyangka pesantren itu berada tak jauh dari kota.

Setelah mengikuti petunjuk teman adik saya, sampailah kami ke jalan aspal kecil mendaki yang sudah rusak di sana-sini. Sepanjang kiri kanan jalan sawah dan ladang (hahaha… jadi ingat lukisan sewaktu SD dan cerita mengarang bebas tentang kampung halaman….) Kuledek habis-habisan adikku Farah. "Jauh amat ya….", kataku sambil melirik penuh ledek ke arah adikku.

Farah hanya mesam-mesem manja meminta agar aku segera mengghentikan ledekanku. Hening, tenang, asri, dan indah. Pesantren itu sangat sederhana. Jauh juga dari hiruk pikuk kota. Adikku lagi-lagi cengar-cengir tak menyangka kalau pesantren yang akan ditinggalinya berada di ujung dunia. Akupun hanya bisa tertawa. Maklum saja, 12 tahun adikku mondok tak jauh dari kota. Bahkan sewaktu di Bandung adikku m mukim di pesantren yang berlokasi di Simpang Dago salah satu tempat favorit anak muda Bandung.

Tidak lama kami berada di sana, hanya sekitar setengah jam. Setelah mengangkat barang-barang adik, kami pun pamit. Kupandangi wajah adikku yang selalu ceria itu. Ia memandangi Umi dan Bapak. Hidungnya memerah.

Ia angkat tangannya menutupi sebagian wajahnya. Entah kenapa suasana menjadi haru tiba-tiba. Matanya yang celalu ceria tiba-tiba banjir air mata. Suaranya mulai parau. Tapi ia tetap tertawa. Dipeluknya Umi. Bapak mendekat dan berusaha menenangkannya. Aku coba cairkan suasana dengan meledeknya lagi. Ku tarik ujung-ujung bibirku jauh-jauh. Dia sedikit tertawa. Tapi candaku belum cukup untuk mengusap air matanya. "Doain Farah yaa….", rajuknya manja.

 Sebelum menginjak pedal gas, ku panggil adikku sekali lagi. Kutarik lagi ujung-ujung bibirku. Sambil mengusap air matany, dia tersenyum kecil. Aku pun tersenyum dan mulai menginjak pedal gas. Suasana di dalam mobil hening.

Aku diam. Umi diam. Bapak menyandarkan tubuhnya ke jok mobil dalam-dalam. Bapak juga diam. Tak lama, Bapak mencoba mencairkan suasana dengan mencari topik lain.

Sambil mengendalikan laju mobil di atas jalan aspal yang kacau, aku tetap diam. Tak terasa air mata akhirnya leleh juga, menjebol kepura-puraanku agar terlihat tegar.

 Adikku Farah. Anak yang paling sungkan membuat orang tua terbebani. Adik yang paling sering kucandai. Adik yang cerdas dan pandai bergaul. Ia tahu, pesantren itu harus ia datangi untuk mengerek ilmunya tinggi-tinggi.

Bapak sudah tua. Yayasan pendidikan yang dirintisnya harus terus berjalan. Akan datang waktunya ketika salah satu anaknya harus siap menggantinya. Untuk saat ini, dari enam anak bapak dan umi, Farah yang paling mungkin menerima tanggung jawab itu.

Membelah keramahan desa, kesejukan alam, landainya bukit, gemerutuk jalan berbatu, mengiris hamparan sawah dan ladang, hati dan pikirku bicara "Jangan menangis lagi adikku sayang…."

..... Jakarta, 23 Januari 2007 .....

Dua tahun berlalu. Kamu sudah besar dan sudah sangat pandai mengajar. Hmmm.... Minggu besok kamu menikah. Tentunya dengan lelaki terbaikmu. Aku yakin tangis itu akan ada lagi. Ketika bersamanya berucap janji sehidup semati. Tapi tak apa. Menangislah nanti sepuas mu. Seperti dua tahun lalu di desa itu.

 Bekasi, 3 Juli 2009
Umi dan Farah

Penyu Renta

Wrong Man in the Wrong Place Jembatan dua dunia Ketakpaduan raga dan jiwa Di tengah simpang jalan Bersarung juga berjas Merangkum ramuan langka Tentang ragam cerita dalam satu cawan Menangkap bayang Berlari di hampar ilalang Terbangun dari lamunan Tersadar dari impian Ini nafsu atau kenyataan Atau memang keduanya sejalan Sudahlah melangkah saja Walau perlahan Seperti penyu renta Selagi ada tujuan Itu tak apa Bukan lagi impian Ini kenyataan Cubit dirimu tuk buktikan Dan kau akan tahu Kau memang begitu adanya... Makhluk langka ciptaan Tuhan...
berjalan saja walau perlahan

Peluk Kami Pagi-Pagi

Sekali lagi, pagi ini ku mengukur jalan. Jalan yang sama seperti setahun, sebulan, seminggu, dan sehari lalu. Aspal yang sama. Trotoar itu juga. Tikungan. Tanjakan. Juga turunan. Masih sama. Ini sama juga. Dengan hari-hari kemarin. Ketika Tuhan memelukku dalam-dalam. Dalam setiap jengkal keajaiban. Pagi hari di sepanjang jalan yang monoton. Sinar mentari itu mengintip malu-malu. Mengendap-endap di balik dedaunan. Memberikan citra lembut oranye muda. Gemerlap. Berkedip-kedip. Genit. Dedaunan itu sesekali bergoyang pelan. Seperti penari. Gemulai. Masih ibu itu juga. Tak jauh dari perempatan. Dia akan berdiri di titik itu pada pukul sekian. Menyapu dedaunan yang berserakan. Sementara debu terbang di sekitarnya memahat cahaya. Udara masih muda. Segar. Belum tercemar. Ku tancap gas motor dalam-dalam. Angin menerpa badan. Partikel halusnya menyelinap di sela pori pakaian. Tiada panas. Hanya kesejukan. Mentari meninggi. Pelan-pelan. Hingga ku sadar ini bukanlah mentari yang tadi kulihat di depan pagar rumah. Yang ini lebih tinggi. Lebih sangar. Tapi tentu tetap elok. Awan tipis. Juga seperti diam. Sekalipun tidak. Ia bergerak juga. Sangat lembut. Hingga ku pun tak sadar ia sudah berkali-kali ubah bentuk. Awan itu memahat cahaya. Pahatannya melintas tegas di sela-sela. Jakarta kian bergejolak. Penuh hiruk pikuk. Mengencang seiring jam pagi merangkak ke siang. Memecah harmoni alam. Bising. Tapi, biarkan saja semua membising. Karena Tuhan ada di mana-mana. Menyapa diam-diam atau nyata-nyata. Dalam semua ciptanya. Kita tak mungkin lagi berlari. Atau melarikan diri. Karena kita hanyalah bayi. Meringkuk tanpa daya.... Dalam pelukan-Nya. Tuhan, Peluklah kami dalam-dalam.... ..................................................... -- menuju kantor pukul 05.45 - 07.00 WIB-- .....................................................
mencari Tuhan pagi-pagi

Maunya Sih Gitu Yang....

Aku baju yang memperindahmu dan menutupi kekuranganmu…
 ...cermin yang mengingatkan...
 ...induk yang mengabdi tanpa pamrih…
 ...angin yang membelaimu di kemacetan….
 ...malam yang melelapkanmu...
 ...kantuk yang mendekapmu pulas….
 ...ayah yang berpeluh agar kamu tak mengaduh.... 
...bayangan yang setia kendati terinjak setiap hari….
 ...sopir yang tak menggerutui kemacetan agar sang tuan nyaman...
 ...guru yang berbagi kebaikan tanpa imbalan....
 ...murid yang siap mati di atas buku....
 ...payung yang melindungimu dari panas dan hujan....
 ...jaket wol tebal yang memelukmu dari udara dingin membekukan….
 ...lentera yang mengejai langkahmu di sawah berpematang….
 ...buku harian tempatmu bercerita segala rupa kehidupan….
 ...alas kaki yang melindungimu dari duri dan batuan tajam….
 ...pipi yang merasakan tangismu pertama kali….
 ...hati yang membuka untuk tawa dan lukamu...
 ...rumah keluh kesahmu...
 ...waktu yang mengingatkanmu tentang indahnya kebersamaan kita….
 Aku... Maunya begitu,
 Untuk kamu...
saja

Cukup

Tuhan, Engkau mengiris-ngirisku. Kecil-kecil. Lebih kecil dari debu. Lebih lembut dari atom. Aku melebur. Dalam lautan keajaiban-Mu. Meratap atap. Langit tanpa batas. Lautan tak berdasar. Udara tak teraba. Rasa tak terkecap. Jiwa tak terindera. Tapi Engkau ada. Tinta tidak pernah cukup. Lautan apalagi. Karya Mu lebih dari semua. Sekalipun antara langit dan bumi hanya tinta. Itu tidak juga cukup. Menulis dan melukis karya Mu. Keajaiban Mu tanpa bilangan. Anugerah Mu tanpa batasan. Semuanya hanya keajaiban. Menenggelamkan. Ini semua, cukup.

Awali Dengan.....

Ibu menyusuiku. Tidak sehari. Lebih dari itu. Air susu itu masih ada. Mewujud dalam bentuk lain. Bentuk gaib. Patuhku pada ibu. Bapak gendong aku. Shalat subuh ke musholla. Waktu kecil dulu. Bapak dekap lekat. Erat. Rasa itu masih ada. Mengingatkanku untuk bersegera bangun. Pagi hari. Untuk ke musholla. Seperti saat dekapan erat itu ada. Sambil berjalan. Ku kenang keintiman itu. Kantor menggajiku. Tidak pernah alpa. Apalagi lupa. Karena tentu dia tahu. Ada keringat ku di situ. Ambil bagian meraup laba. Aku beri tenaga. Dia beri aku apel. Hanya satu. Dibungkus pita merah. Ada kertas kecil bertuliskan singkat. "Cinta itu anugerah". Enam tahun berlalu. Apel itu masih ada. Di labirin hati. Semangkuk bubur kacang hijau. Hanya Rp 1500. Murah. Tapi bukan itu. Temanku belikan dengan ikhlas. Waktu ku sakit. Itu hampir tujuh tahun lalu. Bubur itu pun masih ada. Di ingatku padanya. Permen satu butir. Dari seorang anak kecil. Dia beri sambil berlari. Mengejarku sungguh. Mendangak. "Ini buat kamu", katanya. Hanya sebutir permen. Permen itu sudah habis. Tapi anak itu masih ada. Di kenangku tentang Gaza Palestina. Tuhan, sajikan segala. Tidak ada yang alpa. Untuk kita. Dia beri. Tanpa pernah rugi. Semuanya tentang memberi. Saling isi. Bukan pinta. Beri saja. Lalu semua akan abadi. Dalam kasih sayang. itulah Cinta, Awali dengan, ...memberi....

Sekolah 6 Tahun

Dia pernah ada. Hadir di hampir setiap helaan nafas. Dia, yang pernah bisa menghangatkan dinginnya udara. Dia yang bisa melelapkan kala kantuk melangka. Juga, dia, yang bisa menyiksa hingga menangis tak tau malu. Like a bridge...(away, Boyz II Men singing The Color of Love...) Jembatan menyambung dua titik. Titik berbeda yang, coba, dipadukan. Agar keduanya terus bicara. Berlomba memberi. Lalu membangun satu dengan lainnya. I wanna thank you... for showing me the meaning of love... (Boyz II Men is still singing) Arti cinta. Bersama dalam luka dan tawa. Menarik ujung-ujung bibir bersama. Menyunggingkan senyum. Dan, membalut gores dan perih dengan rasa. Berdua. Terima kasih untuk yang lalu. Luka-luka itu menguatkan. Dera itu membuka penjara jiwa. Tangis itu membebalkan mata. Tenanglah. Luka dan tawa itu akan selalu ada. Sekalipun tak tahu ada di belah jiwa mana. Tapi yakinlah itu akan selalu ada. Tanpa hilang barang sepenggalan. Karena keduanya yang membentuk kita. Untuk itu semua, kita patut bangga. to see u smile.... (away, Josh Groban singing "To Where You Are) Oh ya, banyak yang dia tidak tahu. Tentang upaya-upaya gila di belakang punggungnya. Hanya supaya satu. Melihat dirinya tertawa. Pasti dia pun begitu. Pernah sangat sibuk di belakang sana. Supaya satu. Memberi kejutan, yang membahagiakan. Hati ini meringis. Menangis. Semua itu melewati batas rasa. Tanpa padanan kata. Tentang kita. Yang pernah ada.

Cukup Sejentikan Jari

Buku melaprak di lemari dan meja. Tas juga terserak di rak dan lantai. Handphone tercecer di dua ruang berbeda. Kabel charger entah di mana. Kasur carut marut. Bantal dan guling silang sengkarut. Kacau. Kacau sekali kamar hari ini. Padahal, hanya sejurus lalu, kamar ini masih perawan. Rapih genah merenah tuma'ninah. Seperti si jelita Annelis Mallemar sebelum dijamah saudara kandungnya sendiri. Hanya sejurus lalu hati ini teduh. Tapi hati itu berantakan tak beraturan. Hanya karena itu, perabotan yang lintang pukang. Kamar yang teduh dan menenangkan pun rapuh dengan tampilannya yang tak lagi beraturan. Padahal, untuk kerapihan kamar ini, saya perlu menatanya berulang kali. Lokasi meja, kursi, lemari dan perabotan lain dipadu padankan. Seperti memadukan warna dan goresan di atas kanvas. Hati-hati. Jika tak elok, ku rubah lagi. Terus menerus. Memakan waktu, tenaga, dan pikiran. Menata kamar memang seperti perkara sederhana. Walaupun nyatanya rumit tak terkira. Kerumitan yang disengaja agar diri betah berlama-lama. Tidak hanya membuat homy, lebih eksklusif lagi: roomy :) Ah, tapi kamar ini hanya bisa roomy beberapa saat. Perlu sedikit waktu untuk membuatnya porak poranda carut marut centang perenang lintang pukang... mmm... menata kamar ini tak ubahnya menata hati. Perlu cukup waktu agar bisa tertata rapi. Sebaliknya, dalam sekedipan, hati bisa hancur berantakan... Seperti kamar, makhluk ringkih bernama hati ini harus terus dijaga dan ditata. Dilarang alpa barang sekedipan. Tak lain supaya si empu-nya tenang berlama-lama. Karena semua tahu, pun, hanya rapihnya kamar yang bisa membuat tidur, belajar, shalat, atau bengong tak karuan terasa nyaman. Dan, hanya rapihnya hati yang bisa menentramkan. Jagalah hati agar tak berantakan, jangan alpa barang sekedipan. Karena seperti kata teman, "Merapihkan selalu lama dan melelahkan. Tapi cukup sejentikan jari semua bisa berantakan."

Puisi Dangdut

Lagu di winamp ini berganti-ganti.
Menu di setiap waktu makan juga begitu.
Film di bioskop sama juga.
Bacaan buku juga sama.
Tayangan TV pun begitu.
Baju untuk jalan iya juga.
Termasuk alas kaki dan celana.
Semuanya, berganti-ganti. tapi untuk yang satu itu,...
tetap kamu....
suer,
deh.

Dunia Tanpa Ujung

Untuk apa rumah megah itu kalau hanya kita dirikan untuk dinikmati babu-babu kita, mah? Untuk apa rekening itu menggendut kalau isinya hanya jadi tontonan kita, mah? Untuk apa jabatan mentereng kalau itu membuat kita jarang bersama, mah? Untuk apa kamu bekerja keras dengan penghasilan menyilaukan kalau itu membuat anak-anak kita tak mengenal ibunya, mah? Untuk apa mobil-mobil keluaran terbaru itu kalau hanya jadi pajangan dan dinikmati sopir-sopir kita, mah? Untuk apa semua kemewahan ini kalau hanya membuat jarak kita dari Nya semakin menganga, mah? Kita harus bersama, aku dan kamu, kita dan anak-anak kita. Bisa jadi mah, untuk itu, tak perlulah gelimang harta dan tahta. Karena bisa jadi kemewahan itu ada saat kita bersama sebagai keluarga. Bisa jadi itulah ke-maha-an di balik kata “sederhana” yang selama ini eyang kita sering ajarkan. Ya, sederhana.... yang karena itu, papah, mamah, dan anak-anak kita betah berlama-lama di teras rumah. Setiap hari. Sebagai kita,...keluarga. *inspired by Jakarta's life yang nggilani*

Tinggal Sepelemparan

Demi subuh yang membangunkan hamba-hamba Mu yang ikhlas Demi bintang kejora yang berpendar terang tak berpenyangga Demi gugusan bintang yang tiada lelah memahkotai jagad raya Demi gelap yang memberikan ketenangan Demi orang-orang tua di surau dalam sujud dan ruku’nya Demi suara adzan yang membasuh hati Demi keheningan yang merapihkan kekacauan diri Demi kehidupan yang tiada tahu esok seperti apa Demi megasinetron bernama dunia Demi orkestra alam semesta Demi detik yang tak ternilai harganya Demi udara yang ada di ketiadaannya Demi tanah yang dipijak Adam-Hawa hingga Barack Obama Demi langit yang belum retak Demi air yang menghidupkan Demi Engkau yang menciptakan Tuhan, Ramadhan tinggal sepelemparan. Berikan kami kesiapan. Lindungi raga, pikir, dan jiwa dari dunia yang tak pernah lelah ini. Ceburkan kami, Hingga tenggelam, dalam... Ramadhan Mu....

Menuju Yang Pasti

Tuhan selalu berkata-kata dengan kita. Tentang pritilan hidup yang selalu ada suka dan duka. Kita diminta untuk menarik hikmah darinya. Hidup ini sederhana. Sesederhana cara Tuhan menciptakannya. Kita lah yang seringkali membuatnya rumit. Mengacak-acak benang yang sudah teratur. Ini tentang cerita anak manusia yang beraneka warna. Dengan tingkat lika-liku kesulitan yang berbeda. Beban yang beragam. Dan ending yang berupa-rupa. Adalah seorang teman. Dia hidup di keluarga yang kehilangan fungsinya. Orang tuanya bercerai sejak ia kecil. Bagi kita yang tidak pernah merasakan hidup dalam keluarga seperti itu tentu tak terbayangkanya rasanya. Teman saya itu terus bergerak. Berbuat banyak hal. Bukan hanya untuknya, tapi juga ibunya yang membesarkan. Selama kuliah ia aktif berkegiatan kampus yang melelahkan tanpa menghasilkan. Walaupun pada akhirnya ia pilih jalan bisnis demi kemandirian. Itulah satu-satunya jalan yang memungkinkan agar dapur pribadi terus mengepul. Maklum, ibunya di kampung sana bukan konglomerat. Aktifis kampus itu memulai petualangan bisnisnya. Kini ia sudah menikah. Empat tahun lebih sudah ia lalui pernikahan itu. Tidak hanya terjun di bisnis ia menjadi pionir di antara kami. Untuk urusan nikah, ia juga yang pertama kali menjejakinya. Kini di tahun ketiganya, tak hadir juga seorang buah hati. Dua kali istrinya hamil. Dua kali juga keguguran. Kini, sang istri tengah hamil. Harap dan cemas pantas berbaur bercermin dari pengalaman yang sudah lalu. Di tengah ujian-ujian itu, teman saya tetap melangkah. Lulus dari kampus, ia merintis usaha di Jakarta. Sebuah pilihan kegiatan yang tidak biasa bagi kami lulusan kampus yang dicetak untuk jadi pekerja. Empat tahun sudah bisnis itu dijalananinya. Selama itu juga ia berpindah-pindah kantor. Sempat berkantor di bilangan emas kawasan Jakarta. Hingga akhirnya mengungsi dan berkantor numpang di rumah seorang kawan dengan perlengkapan kantor seadanya. Lalu pindah lagi ke sebuah lokasi baru. Tempat itu jauh dari kata wah. Kini tiga tahun sudah mereka berkantor di kantor baru itu. Bisnis mulai bergerak. Karyawan bertambah. Cash flow mulai positif. Walaupun tentu masih banyak kekhawatiran yang menggelayut. Omong-omong, teman saya itu juga sempat membuka beraneka usaha lainnya. Namun, semua itu terhenti di tengah jalan. Bangkrut. Kenang seorang teman yang ikut dengannya. Betapa usahanya itu tak akan bergerak tanpa sentuhan kesabaran. Bersamanya bisnis terus bertahan sekalipun pendapatan masih di bawah UMR. Sekualitas mereka, batin saya, mudah saja mereka jadi karyawan biasa. Penghasilan pun dipastikan jauh di atas perolehan dari bisnis sendiri yang sedang mereka jalani. Tapi bukan itu jalan yang dipilih. Toh di tengah kesulitan-kesulitan itu, teman saya itu tetap tersenyum. Melangkah pasti di tengah ketidakpastian yang berulangkali dihadapinya. Lahir dari keluarga yang terbelah. Besar dengan kesahajaan. Memilih jalur bisnis tanpa sokongan dana berlimpah. Jatuh bangun berulangkali dengan bisnisnya itu. Belum lagi, dua kali kehilangan calon buah hati. “Ah, itu tentu baru sedikit cerita yang kutahu darinya”.... Ini baru cerita dari seseorang. Tentu di luar sana sangat banyak yang lainnya. Saya, kamu, mereka, tentu juga punya banyak cerita. Dengan pahit, asin, asam, dan manis yang membalutnya. Dan kawan, aneka rasa kehidupan itu pun akan senantiasa ada, di tahun-tahun ke depan. Terus melangkah saja. Hingga disapa mati. Dan pertanggungjawaban kita di akhirat nanti.

Diuber Mati

Untuk apa hidup? Lahir, tumbuh, gagah, berkeluarga, beranak pinak, lalu mati? Itu saja? Setiap kita punya cara berbeda melihat yang telah lalu, sekarang, dan masa depan. Mau jadi apa. Ingin bagaimana. Mau melakukan apa. Mimpi, harapan, cita-cita, dan keinginan semua muncul bergantian. Dua hari lalu, saya bincang kecil dengan Ngadiono, pekerja di bengkel langganan. Usianya kepala empat. Punya anak empat dari satu istri. Keluarganya tinggal di Solo. Sementara Ngadiono di Jakarta. Mencari nafkah. Dia mengaku pendapatannya tidak seberapa. Tapi dia bersyukur atas itu. Paling tidak, ia bisa rutin mengirim uang ke keluarganya di Solo. Ya, di Solo. Keluarga yang ‘hanya’ dikunjunginya dua bulan sekali. “Hidup di Jakarta mahal mas”, katanya. Ngadiono hanya satu potret dari album kehidupan yang ada. Dia mengambil perannya sebagai seorang suami dari istri dan ayah dari empat anaknya. Bagi semua kepala rumah tangga, mencari nafkah tentu sebuah kewajaran. Karena dengan begitu ia bisa tunjukkan bahwa dirinya mampu menjawab satu dari sekian banyak tanggung jawab sebagai kepala rumah tangga. Ia bermanfaat dalam lingkup terkecil: keluarga. Ya, kita memang sedang menjalankan beraneka lakon. Tidak sedikit dari kita yang ingin berlakon wah. Mau punya titel dan jabatan mentereng, politisi terkenal, selebritis, atau jadi dai beken. Sah-sah saja tentunya. Karena kita berhak jadi apa saja. Atau paling tidak, kita berhak bermimpi untuk jadi apa saja. Tapi ngomong-ngomong, sudah beberapa bulan terakhir, banyak orang beken yang mati. Michael Jackson, Mbah Surip, WS Rendra, Kim Dae Jung, Corazon Aquino, dan yang paling gres, Senator gaek Amerika Serikat, Ted Kennedy. Satu kesamaan dari semua yang meninggal itu: kepergiannya mengundang simpati banyak orang. Waktu kecil, orang tua saya langganan majalah Amanah. Ada rubrik yang selalu saya baca. Isinya tentang profil sahabat pena. Selalu saja berulang tulisan di bagian cita-cita: “Ingin berguna bagi agama, nusa, dan bangsa”. Mungkin karena pengulangan-pengulangan itulah saya tak juga lupa kalimat itu. “Menjadi orang berguna” Banyak peran tersedia. Kita bebas memilihnya. Anda punya pilihan. Pun saya yang akhirnya memilih jadi wartawan. Waktu kuliah dulu, profesi ini begitu ‘menyilaukan’. Profesi yang mengajak kita untuk belajar setiap hari dan membaginya ke banyak orang. Saya juga kagum dengan cerita keberhasilan wartawan membongkar moral amburadul tokoh publik mulai korupsi sampai skandal seks. Tentu yang dilakukan bukan untuk kejar oplah, rating, atau ketenaran. Upaya itu sebatas untuk membuka fakta agar tidak adalagi pengkadalan orang biasa dari ulah penjahat tahta, harta, dan kelamin. Kita berburu dengan mati. Hingga pertanyaan nanti: untuk apa hidup ini dihabiskan? Waktu berlari cepat. Sekedipan saja si anak SD ke SMP lalu SMA kemudian Kuliah, bekerja, menikah, beranak pinak, tua, sakit-sakitan, dan innalillahi. Kemana hidup ini pergi? Untuk apa semua ini? Sudah berbuat apa? Teringat kata nabi: “Yang terbaik di antara kalian adalah yang paling bermanfaat buat manusia”. Sudahkah? Karena kita diburu mati.

Kita Bobo Terus

photo: www.blogs.nature.com


24 jam Tuhan berikan ke semua orang. Termasuk Nabi Adam sekalipun waktu itu belum ada jam. Tapi benarkah kita memiliki ke 24 jam itu dalam kesadaran?

Andai saja, sehari sepertiganya kita alokasi untuk tidur. Itu berarti dua pertiga lainnya kita berikan untuk aktiifitas melek kita. Mulai dari jungkir balik kerja atau jungkang jungking kuliah. Tapi benarkah kita sudah sadar dalam duapertiga melek kita itu?

Waktu itu seperti udara yang baru saja kita hirup. Ketika kita hembuskan, maka udara itu tak mungkin lagi terhirup. Udara berikutnya bukanlah udara yang baru saja kita hembuskan. Waktu yang berlalu, pun tak mungkin lagi kita tarik.

Menjadi manusia adalah menyadari sepenuh keberadaannya. Membuka tabir di balik makna keberadaan, mencari panduan untuk menjalankan, dan berpegang pada panduan itu.

Kita semua sedang mencari. Ada yang merasa sudah menemukan panduan itu, walaupun tentu masih belum pasti. Tapi, itulah kita, makhluk renik melata di jagad yang seperti tak bertepi ini. Kita akan terus mencari.

Pencarian untuk apa? Harta, tahta, atau wanita/pria? Kita mengaku tahu bahwa harta itu hanya sarana, seperti halnya tahta dan wanita/pria. Sarana mencari ridho-Nya. Benarkah?

Hiruk pikuk dunia ini tak kenal kata henti. Kita beradu sprint dengannya. Kita coba taklukkan, walaupun berulangkali kita yang kalah. Karena dunia itu sudah menggenggam kita. Tapi terus saja kita mengaku, bahwa dunia itu hanya sarana. Benarkah?

Benarkah dunia sebatas sarana ketika Tuhan hanya kita temui dalam ketergesaan?

Benarkah dunia sebatas sarana ketika Ramadhan kita lewati sebatas pesta buka dan sahur tahunan?

Benarkah dunia sebatas sarana ketika shalat hanya seperti iklan di tengah program tv bernama pekerjaan?

Benarkah dunia sebatas sarana ketika kita bisa menangis sesengukan karena cinta kepada manusia tapi datar rasa di tengah shalat-shalat kita?

Benarkah dunia sebatas sarana ketika tangis dalam shalat kita sebenarnya untuk mengejar dunia itu sendiri?
 
Benarkah dunia sebatas sarana ketika zikir harian kita melulu gaji, bonus, THR, dan segala rupa pengisi rekening lainnya?

Benarkah dunia sebatas sarana ketika agama hanya pajangan kaligrafi di tembok-tembok rumah?

Benarkah dunia sebatas sarana ketika ayat-ayat Tuhan diperjualbelikan?

Benarkah dunia sebatas sarana ketika kita rela berhimpit macet di terik panas untuk cari uang sementara bertemu Tuhan 5 kali sehari tanpa macet dan panas pun bermalasan?

Benarkah dunia sebatas sarana ketika kenyataannya Tuhan hanya ada di pojokan?

Kita yang katanya tahu agama nyatanya memang sedang tertidur. Sangat lelap.

Kata Rasul, "Annaasu niyaamun, fa idza maatuu, intabahuu..." Manusia itu tidur, apabila mati, mereka baru tersadar....

Jerawat Tak Terawat

Allahuma kamaa hasanta khalqi, fa ahsin khuluqii...

Ya Tuhan kami sebagaimana Engkau indahkan penciptaanku, maka indahkanlah akhlak-ku. Itu doa bercermin. Kita tahu. Bercermin berarti mencermati diri. Evaluasi detail dan rinci.

"Sudah pantaskah tampilan kita?" Tampil sesempurna mungkin dengan bercermin. Kalau ada jerawat yang menggunung di diobati. Kalau ada komedo yang menumpuk jangan dipupuk. Kalau ada panu, ya dikasih obat anti jamur.

 Dari cermin kita tahu ada bekas luka duduk di muka. Juga ada lubang jerawat yang mengawah. Kawah dari cerita salah kelola jerawat dulu. Ada juga gigi patah karena terlabrak benda yang datang tak terduga. Codet bekas luka, lubang jerawat, dan gigi patah itu adalah fosil sejinjing persoalan yang lalu. Walaupun tentu semua yang 'menodai' wajah itu hanya sebagian dari persoalan yang berlalu. Sebagian luka dan jerawat ada juga yang berhasil dirawat. Karena itu tiada bekas.

 ****
Awali dengan bercermin. Pagi sebelum aktifitas dan malam sebelum larut tidur. Karena itu bisa mengingatkan. Betapa kita makhluk penuh sayatan, karya tangan sendiri. Luka yang kita buat adalah pilihan. Tuhan pun bilang, "Wa maa zalamaahum, wa la kinna anfusahum yazlimuun". Dan tiadalah Tuhan menzalimi mereka, tapi mereka sendirilah yang menzhalimi diri mereka sendiri.

Di buku Kubik Leadership, orang istimewa adalah dia yang ketika sukses akan menunjuk orang lain sebagai aktor di balik sukses itu. Sebaliknya, orang mengkhawatirkan adalah dia yang ketika sukses akan pongah mengakui diri bahwa itulah hasil kerja kerasnya seorang. Ketika sukses berilah apresiasi besar bagi orang-orang di sekitar kita. Karena mereka kita sukses. Ketika gagal tunjuklah diri sendiri sebagai yang paling bertanggung jawab. Karena itulah amanat Tuhan, bahwa jika dalam zalim, itu karena tangan sendiri.

Bukan salah orang lain ketika amarah kita meledak. Itu semata karena kita belum bisa mengendalikan diri sendiri. Jika kita atasan, bukan salah bawahan tidak bisa tugas dengan baik. Tapi karena kita lah yang kurang memberikan arahan. Jika kita bawahan, bukan salah atasan atas kegagalan perusahaan. Tapi kitalah yang kurang berinisiatif mengatasi persoalan teknis di lapangan. 

Satu waktu Rasul berdoa ketika teraniaya. "Ya Allah, jika itu salah mereka, maafkanlah karena mereka belum/tidak tahu. Tapi jika itu salahku, maafkanlah aku". Masih saja Rasul membuka pintu salah bagi dirinya yang teraniaya.

Kita manusia. Sejak terlahir hingga mati berulangkalli menyayat tubuh sendiri. Lalu dengan muka tanpa dosa menunjuk orang lain sebagai biang perkara. Karena itulah Rasul berpesan bagi pen-cermin: Allahuma kamaa hasanta khalqi, fa ahsin khuluqii... Ya Tuhan kami sebagaimana Engkau indahkan penciptaanku, maka indahkanlah akhlak-ku. Karena akhlak cermin batin....

Tidak Ada Tuhan

SubuhMu. Barisan orang tua itu seperti padi yang siap panen. Membungkuk karena tulang punggung tak lagi kokoh. Mereka baris berbanjar. Rapih. Plus kesantunan wajah dan tata krama, bungkuk itu terlihat lebih dalam lagi. Satu persatu bersalaman. Saling lempar senyum. Berbalas runduk penghormatan. Lalu pulang. **** Perjalanan dari masjid ke rumah ini tak lebih dari lima menit. Dengan bermotor, udara lebih terasa. Dinginnya menyejukkan. Segarnya menggairahkan. Gabungan keduanya membangkitkan. ini hari ke-20 Ramadhan. Di langit yang tak berselimut, bintang berantakan. Tapi indah. Karena keberantakannya seperti manik-manik kemerlap yang terserak. Dengan bulan yang menyemangka, makin lebay saja langit pagi ini. Jalan masih sangat hening. Deru motor ini merajai bisingnya pagi. Singungan roda dan jalan memerawani udara. Debu berterbangan. Asap knalpot membuatnya semakin tidak perawan lagi. Tuhan, subuhMu syahdu. Kami tunggu mega memerah di ujung timur sana. Sambil menunggu itu, kami sadar, waktu kami sangat sesak untuki bisa hening menelanjangi diri. Tentang kealpaan seharian kemarin. Juga, rencana panjang hari ini. Perlahan langit seperti tersipu dengan kemerahannya.Inilah waktunya kembali bergerak. Berputar lagi seperti rotasi bumi yang tak kenal henti Mobil satu persatu keluar kandang. Motor dilepas dari tambatannya. Jalan mulai sesak. Udara kian pekak. Pikiran mengencang. Otot mengenjan. Nafas berburu dengan laju kendaraan. Tuhan, subuhMu baru berlalu. SiangMu gagah berdiri diujung sana. Ia sangat siap sambut kami. Tapi Tuhan, kami takut. SiangMu hanya petaka. Ketika harta, tahta, dan wanita menjadi raja. Lalu Engkau Tuhan, tidak ada lagi. MenemuiMu bersama barisan orang tua di subuhMu pun tinggal nostalgia. Karena siang nanti Engkau terusir kesibukan kami.

Ku Selingkuhi-Mu

Aku mendosa di mall-mall megah, aku kira tidak ada Tuhan di situ.
Aku mendosa di losmen murah, aku kira tidak ada Tuhan di situ.
Aku mendosa di kamar hotel mewah, aku kira tidak ada Tuhan di situ.
Aku mendosa di sudut-sudut bioskop, aku kira tidak ada Tuhan di situ.
Aku mendosa di internet, aku kira tidak ada Tuhan di situ.
Aku mendosa di kamar kos, aku kira tidak ada Tuhan di situ.
Aku mendosa di kamar mandi, aku kira tidak ada Tuhan di situ.
Aku mendosa di meja judi, aku kira tidak ada Tuhan di situ.
Aku mendosa di semua ruang bersekat ketat, aku kira tidak ada Tuhan di situ.
Aku lari dari semua tatapan manusia untuk mendosaMu.
Tuhan aku selalu pura-pura tidak tahu bahwa Engkau lebih dekat dari urat nadiku.
Tuhan aku selalu ingkar bahwa Engkau tidak hanya melihat yang kami mampu lihat.
Tuhan aku selalu pura-pura lupa bahwa tatapanMu menghujam ke dalam jasad.
Membelah hati.
Mengorek-ngorek nurani.
Tuhan maafkan aku yang menyelingkuhiMu,
bertubi-tubi.

Jangan Dibaca

Membuka Facebook ini seperti melihat pelangi. Coba ke "Home". Halaman ini seperti etalase mall raksasa. Setiap toko punya dagangan berbeda. Juga, punya cara cihuy pikat pembeli. Home juga membuka wajah orang per orang. Ada yang tukang laporan. "Abis Mandi, sekarang saatnya dandan...." Ada yang bersocrates ria, "hidup ini bla bla bla...." Ada yang melowkolis, "kamulah yang membuat hidupku....(lagi) bla bla bla....." Ada yang autis, (yang ini kerjanya upload foto, notes, dan segala rupa fasilitas fb lainnya. tapi gak pernah comment dan tag ke mana-mana) Ada yang pencari bakat. (yang ini kerjanya nge-add cewek-cewek cantik or cowok-cowok mempesona) Ada yang tukang curhat tanpa jelas subjek dan objek. "Sebeeeelllll, kenapa sih dia begitu.... (dianya siapa coba? gak jelas kan?) Ada yang pecinta sinetron ramadhan Deddy Mizwar CS. "Tuhan, terima kasih atas semua yang telah Engkau berikan" (pokoknya update status always and always tentang urusan kelangitan) Ada yang pengikut setia Narsiscus. (kerjanya upload foto pribadi. tentunya yang the best pict lah ya....) Tipe pesbuker lainnya? tambahin sendiri ya.... ==== udah, gitu aja. ==== PS: Tulisan yang gak jelas maunya apa.... Kan udah dibilang jangan dibaca.

Anak Mall

Pasangan hidup itu seperti mall. Kita memilih untuk mengunjunginya karena mencari satu atau banyak hal. Ingin cari baju, celana, sepatu, buku, atau sekadar nonton. Banyak mall di Jakarta. Masing-masing punya dagangan utama. Ada yang menjual kestrategisan lokasinya, koleksi baju lengkap, atau perlengkapan elektronik segala rupa. Alasan-alasan itulah yang menarik kita. Mau beli baju murah bisa ditawar pula, Tanah Abang tentu tempatnya. Mau janjian ketemuan sama teman-teman, Plasa Semanggi kayaknya belum terkalahkan. Mau makan dengan suasana tenang, mmm kayaknya masih Mall Setiabudi jagonya. Mau pakaian berkelas, PP, Sen-C, n PS kayaknya masih yang paling pas. Karena itulah saya menyebut pasangan hidup tak ubahnya mall. Ia menawarkan kelebihannya sendiri-sendiri. Pun itu berarti, semua mall tidak lengkap. Persis seperti pasangan hidup.... Mencari pasangan hidup bukanlah mencari kesempurnaan. Karena memang bukan kesempurnaan yang dicari dalam hidup. Tapi, keseimbangan yang pada akhirnya melahirkan: kenyamanan. Seperti mall yang sangat banyak di luar sana, tentu ada satu diantaranya yang menurut kita paling bisa memberikan..., ...rasa nyaman. So, have u found ur mall?

Bye-bye R....

Kalau bisa memilih, maunya Ramadhan diperpanjang saja. Malu rasanya sebulan lalu hanya mampir sejenak. Tanpa kami jamu, tanpa kami manjakan. Tanpa banyak ba bi bu. Dia berlalu. Saya pasti akan merindukan genderang alat tabuh di pukul dua pagi dari anak-anak kecil yang berkeliling di sekitar rumah. Saya akan merindukan kebisingan yang memekakkan gendang telinga itu. Juga saya akan merindukan suasana berbuka di rumah bersama teman dan keluarga. Es buah, aneka camilan, madu, dan kurma. Merindukan juga tarawih-tarawih yang membuat masjid dan musholla lebih tambun dan makmur. Merindukan juga bau mulut tak terkira setelah pukul 12 siang hingga akhirnya bau itu dipadamkan santapan berbuka. Dan seperti tahun-tahun sebelumnya, Ramadhan yang berlalu akan selalu seperti itu. Upacara megah ritual ibadah kolosal. Ketika aneka jajan berbuka begitu meriah di tepi-tepi jalan raya. Ketika surau dan masjid dijejali barisan jemaah tarawih di awal-awal kedatanganmu. Lalu di hari-hari berikutnya barisan itu mengempis. Dan terus mengempis lagi hingga sepuluh hari terakhir. Melulu seperti itu. Ketika di sepuluh hari terakhir parkiran masjid tak lagi sesak. Lalu jamaah tarawih itu berpindah ke mall-mall dan menyesaki tempat makan dan perkiosan dalam hajatan bernama: buka bersama dan pesta pora belanja lebaran. Di sepuluh hari terakhir juga akan ada jemaahMu berburu LailatulQadar. Duduk bersimpuh satu-satu. Sibuk dengan zikir dan ayat-ayat suciMu. Tenggelam dalam shalat malam. Menangis autis di dini hari yang bisu. Lalu saya hanya mengamati. Sesekali bermain di dalamnya. Ikut serta dalam huru-hara buka bersama di mall dan lalu bergempita belanja. Terlibat dalam satu dua kali perburuan LailatulQadar. Kami pasti merindukanmu. Bulan yang paling bersinar sekalipun terselip di antara sebelas bulan lainnya. Bulan yang bisa mengiring umat Islam dalam pesta akbar mendekat kepadaNya. Bulan yang mampu mengundang air mata pertobatan lebih mudah bercucuran. Bulan yang sanggup memacu lebih cepat putaran roda ekonomi usaha kuliner, travel, hingga parcel. Bulan ketika semua pegawai tersenyum di depan ATM karena rekening dibengkaki uang THR. Kami akan merindukanmu Ramadhan. Sekalipun kami tahu, kesempatan kemarin begitu banyak terlewatkan. Semoga nafas ini masih ada tahun depan untuk menyambutmu, lagi. Malam ini, di tengah sesahutan takbirMu, pinta kami satu. Jadikanlah sebelas bulanMu esok adalah perpanjangan Ramadhan-Mu. Hingga kami lebih siap di Ramadhan 1431 Hijriah-Mu.

Sincerely Yours

Kita masih seumur jagung. Tapi kita bukan jagung. Semoga kita lebih dari itu. Seperti Jati Belanda. Bisa berusia sangat tua. Semakin kokoh di usianya yang renta. Semakin indah dengan liuk lapis gurat otot kayunya yang menua. Jagung dipanen di usianya yang ke empat bulan. Pun kita. Menyemai benih itu empat bulan lalu. Setelah empat bulan itu, Ramadhan ini kita panen kecil-kecilan. Meningkatkan kualitas hubungan. Tapi, di usia empat bulan ini, aku belum ingin memanennya. Karena kuharap, kita bukan jagung. Yang harus mati di usianya yang muda. Anak tangga itu masih sedikit. Masih banyak anak tangga lainnya yang harus ditapaki satu satu. Walaupun kita tentu sama-sama tahu, belum tentu di ujung sana kita masih menapaki tangga yang sama. Senyum yang kita bagi selama ini belum tentu akan selamanya. Cerita yang kita punya selama ini belum tentu beralur sama. Di depan sana ada ribuan tikungan, tanjakan, turunan, dan jalan buntu. Bahkan lebih. Tapi, tentu kita juga sama-sama tahu. Paling tidak, kita punya saat ini. Yaitu ketika aku menuliskan ini untukmu. Lalu kamu membaca tulisan ini, yang bisa jadi, kamu baca sambil tertawa geli. Ramadhan ini aku ucapkan: "Maafkan aku sayang. Untuk salah yang lalu, yang baru, dan yang akan datang...." sincerely yours -Isle-

Mohon Maaf Kawan

Selamat lebaran kawan. Udah berapa tahun kah kita satu rumah? Yang paling senior, Iwan, Zaki, dan Roli (Rahmat yang sudah nikah). Terus ada Zaenal. Terakhir Tito. Bertahun yang lewat itu pasti banyak salah yang kita perbuat. Maafkan kalau selama tahun-tahun yang lewat itu ada noda yang sengaja ataupun tidak sengaja dibuat. Zaki: Jangan galak-galak sama mbak ya.... terus juga jangan galak-galak sama kita. Kalo lagi dapet, mending di kamar aja.... hehe Eh engga deh ki. Maaf ya, kalo sering bikin bete karena keautisan saya. Terus suka enggak peka dengan nasib temannya yang lagi sakit. (Pas tampek misalnya....) Jenal: Sebagai sobat paling lama (kita uda 10 tahun kenal booo.....), gw minta maaf ya... pasti dosa gw banyak banget ke elu nal.... Terakhir, skandal remove status... (ini peristiwa paling memalukan bagi gw pribadi) hehe.... Iwan: Wan, sejak gw gak segila bola kayak dulu, kita jadi jarang hang out (gantung di luar) bareng.... Cuma satu cara biar kita ikrib lagi kayak dulu. Gw harus suka main badminton n begadang nonton bola... Tapi kayaknya rada susah tuh wan... Paling engga, sekarang kan kita bisa lebih sering ketemuan di kantor. Secara lu udah jadi korda kan.... hehe.... Maafin gw ya wan kalo banyak salah-salah selama ini. Gw yang suka minjem barang lu terus gak jelas nasibnya. Gw yang suka cuek sama masalah-masalah lu yang seharusnya gw bisa tahu dan bantu.... Roli: Rol, maaf kalo banyak kata yang menyinggung perasaan. Maaf kalo sering 'marah' ke elu untuk beberapa kebiasan lu... Maaf, suka rewel masalah helm item itu.... hehe... maafin gw ya, smoga lu berbahagia di Tegal sana. Dan semoga dllancarkan untuk rencana nikah di November... amiennn.... salam buat keluarga di Tegal.... Tito: To, maafin gw ya... terutama insiden subuh pagi itu. Jangan sungkan-sungkan untuk comment di fb gw lagi ya.... hehe... gw memang tidak seharusnya menjadi Depkominfo.... itu udah tugasnya Roli... semoga lebaran lu menyenangkan di Wonosari sana....Selamat buat Kendi Limanya. Salam buat keluarga.... buat alumnus petukangan, Rahmat: Maaf ya mat, kalo silaturahmi kita kurang terjaga. Kalo lu jarang silaturahmi gw maklum, lu udah berkeluarga. Tapi kalo gw....gak punya alesan gw mat.... Maaf kalo dulu selama satu rumah sering menyebalkan, yang bisa jadi lu sengaja telan sendiri. Sukses buat putra pertamanya. Ditunggu anak keduanya.... :) Sukses selalu bradah... Mari kita tatap esok yang lebih baik kawan...

Tidak Kenal Titik

Mengejar bahagia. Setiap pagi sepanjang jalan menuju ke kantor seringkali ku bertanya-tanya. Untuk apa pergi sepagi ini? Menghindari macet? Mengurangi stress? Atau karena mengejar nafkah di kantor sana? Sejak matahari mengintip usai subuh hingga matahari meninggi, jalan raya ini selalu saja bising. Padat. Kendaraan mengular. Saling seruduk dan saling sikut. Lampu merah yang seharusnya seperti pintu bendungan air yang mengatur debit pun kadang tak lagi berkuasa. Di sepanjang jalan itu juga mata ini genit. Menelanjangi satu satu mobil 'mewah' yang terlihat 'wah'. Sementara saya berpanas dan berangin-angin di luar. "Enak sekali di dalam mobil itu...." pikirku. Sementara di dalam mobil si pengendara bisa saja sedang mengejar deadline kerja dan tumpukan kewajiban. Dia sedang menggerutui kepadatan jalan yang membuatnya tertahan. Lalu ia berbisik dalam hati, "Saya rindu masa lalu. Ketika kerjaan tak sebanyak sekarang. Ketika waktu keluarga tak banyak dibajak. Dan ketika bisa menyalip kepadatan lalu lintas dengan motor tuaku dulu". Sambil bergumam dalam hati, ia pandangi diriku yang dengan 'pongahnya' melaju di sela-sela padatnya kendaraan. "Kalau saja aku seperti dia", sambungnya. Kendaraan mewah, rumah megah, uang segudang, perhiasan se-brankas, tanah hektaran, jabatan menyilaukan, keturunan membanggakan, pendamping hidup menyenangkan.... "Dunia itu kalau dikejar enggak akan ada habisnya nak..." kata Bapak satu waktu kepadaku. Lain waktu, kala aku merengek minta dibelikan tembak-tembakan keren seperti yang dimiliki anak tetangga, bapak bilang: "Lihat dunia jangan ke atas, lihatlah ke bawah...." Tuhan pun berulangkali mengingatkan, "Dunia ini hanya permainan dan senda gurau". Dunia memang tidak akan ada habisnya. Ketika dikejar dia berlari lebih kencang lagi. Ketika dipandangi, dia begitu menggairahkan. Begitu ada digenggaman, diri ini berharap bertelapak lebih besar lagi agar bisa meraup lebih banyak lagi. Dunia itu bukan perlombaan yang mengenal kata "finish". Dunia hanyalah candu yang terus membuai kita untuk berkata, lagi dan lagi. Hingga akhirnya candu itu melumpuhkan nurani, menggelapkan pikiran, dan membutakan penglihatan. Untuk apa sekolah tinggi? Untuk apa berprestasi? Untuk apa ber-gaji tinggi? Untuk apa semua-semua yang menggairahkan itu? Semakin kita kenal semua itu, semakin rakus saja jadinya. Waktu yang hanya 24 sehari pun habis untuk semua itu. Kalau saja bisa, kita mungkin akan meminta perpanjangan waktu dari Tuhan. Satu waktu seorang guru pernah bilang, "Harta itu hanya akan membuat pemilikya semakin sibuk menjaganya. Hanya ilmu lah yang sibuk menjaga pemiliknya". Harta ini memang hanya mempersibuk saja. Si mobil selalu merengek minta ini dan itu. Si Istri cantik juga begitu. Anak-anak sama saja. Rumah luas apalagi. Tanah segambreng pun pula. Lalu ku jadi bertanya, apakah ini kebahagiaan yang dulu diimpikan? Selalu kita teryakinkan bahwa dunia menjanjikan kebahagiaan. Tapi mengapa juga di pedalaman gunung sana banyak orang yang bisa tertawa lepas dengan hidup seadanya. Tanpa Blackberry, tanpa sedan Merc, tanpa rumah gagah, tanpa santapan wah, dan tanpa-tanpa lainnya yang wong kota punya. Kebahagiaan itu ternyata bukan ada di depan sana. Kebahagiaan sejatinya hanya dekat saja. Dia ada di sini. Di dalam diri ini. Ketika kita menyadari hakikat keberadaan kita. Siapa diri kita. Untuk apa hidup ini. Untuk siapa kita hidup. Dan akan ke mana usai mati. Dunia memang hanya koma yang tidak kenal titik. Kita adalah titik itu. Sebaik-baik makhluk ciptaan Tuhan. Bukan untuk digenggam dunia. Tapi dibekali-Nya kemampuan menggenggam dunia. Hingga kita tahu arti bahagia.

Kata Om-nya Spiderman

Ini tentang orang biasa, yang realistis dengan akhiratnya. Puluhan tahun lalu, jabatan hakim ditawarkan kepadanya. Tapi ia menolak. Ujian hakim yang harus dilaluinya lebih dulu pun sebenarnya akan mudah saja. Keengganan itu pun berujung pada jalur karirnya yang jalan di tempat. Sebagai panitera, ia tentunya merupakan orang terdekat ketua pengadilan. Karena itu secara struktural tidak ada lagi posisi lain yang lebih tinggi dari itu selain menjadi hakim lalu ketua pengadilan. "Saya takut buat dosa dengan jabatan itu", katanya. Walhasil, ia pun tidak pernah 'naik kelas' dan berpindah dari satu pengadilan ke pengadilan lainnya di Jakarta. Namun, sistem memang mengharuskan dia naik kelas. Mau tidak mau ia pun ikut tes hakim. Diterima. Tidak ada ingar bingar setelah pelantikan itu. Namun yang pasti, kekhawatiran berbuat dosa akibat jabatannya masih tetap ada. Lalu ia masih seperti biasa. Naik motor sederhana ke kantornya saban pagi. Dan melanjutkan aktifitas sosialnya di luar kantor dengan mengajar di sebuah sekolah tanpa digaji. Bisa jadi selama menjadi hakim dia pernah berbuat salah. Namun seingat dirinya, tidak ada sesuap pun uang suap masuk ke koceknya dan disantap anggota keluarganya. Bagi orang itu, jabatan adalah 'musibah'. Karena itu tak perlu rasanya dirayakan dengan ingar bingar keduniawian yang dibalut nama keakhiratan, yaitu: syukuran. Jabatan adalah amanah. Wewenang mengandung fitnah. Kekuasaan membuka kesombongan. Penghasilan ekstra berarti harus ada derma berlebih. Sulit rasanya melupakan bapak itu. Sesulit melihat kenyataan bahwa masih ada yang bisa berpesta di tengah rakyat yang menderita. Dari Facebook seseorang mengetuk: "Sementara musibah terjadi di Padang, ratusan anggota dewan yang baru saja dilantik berpesta di Senayan". Sebuah pesta perayaan atas sulitnya menduduki kursi dewan. Kursi dewan itu harganya memang sangat mahal. Mulai dari ratusan juta hingga milyaran rupiah. Belum lagi, untuk kursi itu mereka harus keluarkan ekstra tenaga dan pikiran selama berbulan-bulan. Itu juga alasannya banyak caleg stress karena kalah berkompetisi. Dengan semua pengorbanan itu, rasanya pantas ‘kemenangan’ terpilih menjadi anggota dewan dirayakan. Tidak sedikit dari kita yang senang bukan kepalang dapat promosi jabatan di kantor. Tanpa komando, ucapan selamat lalu berdatangan. Kita pun tersenyum senang, minimal dalam hati, karena kerja keras dan prestasi kerja kita selama ini dihargai. Gaji dan fasilitas lebih baik tentu jadi sebagian alasan di balik semua selebrasi itu. Tapi benarkah jabatan dan kedudukan lebih baik itu pantas dirayakan? Bukankah di baliknya tersimpan segunung tanggung-jawab? Banyak yang bilang harta dan tahta bisa membeli apa saja. Dengan pendapatan wah dan jabatan mentereng, Anto yang tadinya perjaka ‘tidak laku’ bisa mendadak jadi high quality jomblo buruan para perempuan. Salah-salah makin bijaksana, Anto bisa saja jadi playboy yang bisa dengan mudahnya mempermainkan wanita. Sebelum menduduki jabatan baru, suara Ferdi nyaris ‘tak terdengar’. Dengan jabatan penting yang baru didudukinya, suara Ferdi jadi bergigi. Alih-alih makin bijaksana, dengan jabatan yang baru, Ferdi bisa tergoda menjadi pemimpin yang se-enaknya. Jabatan lebih tinggi juga meminta kita mengalokasikan lebih banyak waktu. Itu berarti akan banyak waktu di luar pekerjaan yang tersita. Waktu bersama keluarga dan teman pun tak seluang sebelumnya. Alih-alih kualitas hubungan keluarga dan pertemanan meningkat, si empunya jabatan justru bisa semakin jauh dari orang-orang terdekatnya itu. Saya jadi teringat pesan paman Spiderman saat ia tahu keponakannya punya kekuatan istimewa: “Great power brings great responsibility”. Kekuatan dalam bentuk harta dan tahta itu bukan saja dimintai pertanggungjawabannya di dunia ini, namun lebih dari itu, di akhirat nanti. Jadi, masih pantaskah harta dan tahta disambut senyuman?

Ikrar (Tidak) Gombal

Kita ini saksi sejarah. Tentang orang-orang yang kontradiktif di rentang waktu hidupnya. Ribuan mahasiswa meruntuhkan rezim Soeharto. Mereka bilang anti KKN. Tapi kita juga tahu, sebagian dari mahasiswa itu pun saat ini sedang menganakpinakkan budaya KKN. Di bangku kuliah. Kita mereproduksi gagasan-gagasan cemerlang tentang moralitas. Dengan bangga menepuk dada. Bahwa kita manusia bersih. Tapi kita juga tahu kawan, kini, sebagian dari kita harus melacurkan janji-janji moral itu. Realitas yang ada lebih menggiurkan ketimbang impian gombal seorang mahasiswa. Semua juga tahu. Selingkuh itu najis. Zina itu amit-amit. Tapi nyatanya, orang-orang yang katanya tahu itu dan menjilati bangku kuliah sampai jenjang tertingginya juga yang ikut dalam hingar bingar perzinahan dan perselingkuhan. DPR yang parlente. KPK yang kece. Lembaga justisi. Akuntan. Polisi. Wartawan. Ibu rumah tangga. Semua sama saja. Lunglai di depan wanita/pria, tahta, dan harta. Terkulai di depan janji manis surga dunia. Tidak semua memang. Tapi mereka ada. Sebagian diantaranya menyobek janji-janji idealis yang pernah mereka dengungkan sendiri. Saya? Bisa jadi tidak lebih baik dari mereka. Kelak. Kamu, juga. Lalu kita berpesta pora dengan budaya neraka yang indah. Di langit norma-norma luhung itu ada. Hanya sebagian kecil dari kita yang bisa menggapainya. Bukan dengan besar bicara. Tapi dengan contoh dan bukti nyata. Kita ini manusia. Yang tahu bahwa hidup hanya sekelewatan. Tapi kita juga seringkali tak ingin kelewatan. Kesempatan menggantang nikmat duniawi yang selintasan. Padahal kita pun tahu, dunia itu cuma rangkaian kegombalan. Hidup ini sejatinya ikrar. Seperti syahadat di awal ikrar kita yang mengaku ber-Islam. Selanjutnya hanyalah rangkaian pembuktian. Ikrar itu nisbi. Tidak teraba. Tapi ada. Ikrar itu yang selalu memandu kita dengan kegaiban-nya. Seberapa tangguh kita berjalan di atasnya, sampai mati menjemput nanti.

Berguru dari Buaya

Baru-baru ini ada juga ucapan terima kasih buat pak Susno yang kata Anggodo si Trunojoyo III itu. Mereka bilang,“Makasih pak atas ide bapak menjuluki KPK=cicak dan Polri=Buaya”. Asal bapak tahu, ide itu sangat mempermudah labelisasi perseteruan antara KPK dengan Polri dan Kejaksaan. Tidak cuma itu. Industri stiker, kaos, sablon, poster, dan lain-lain juga makin meriah. Beramai-ramai mereka memproduksi barang berlabel “Cicak vs Buaya”. Oh iya ada satu lagi. Penjual pita juga senang bukan main karena ternyata pita warna hitam yang selama ini termasuk yang paling tidak laku akhirnya laris manis di pasaran. Entah apa yang ada di kepala Pak Susno waktu melempar ide: KPK=Cicak & Polri=Buaya. Banyak orang beranggapan, itu adalah cara pak Susno mengerdilkan KPK dan membesarkan Polri. Singkatnya, pak Susno mungkin ingin bilang agar KPK tak usah banyak tingkah di depan Polri. Cicak bisa mejret bin mencret adu jotos lawan Buaya. Tapi entahlah. Kenapa makin hari, si Cicak terasa makin gagah saja. Ukurannya hari ini pun rasa-rasanya lebik raksasa ketimbang buaya. Bisa jadi cicak itu sudah kerasukan pendukungnya yang --setidaknya di Facebook-- sudah melewati angka 800 ribu orang. Jadilah sekarang si Cicak terlihat gagah di bawah kangkangan Polri, yang katanya besar itu. Kalo dilihat dari sejarahnya, KPK memang belum ada apa-apanya. Usianya belum juga delapan tahun. Sebaliknya Polri sudah ada sejak republik ini baru saja berdiri. Prestasi? Tentu begitu juga. KPK memang sudah berhasil mengamankan uang negara ratusan milyar rupiah, memenjarakan pejabat tinggi negara dan pengusaha yang bisa membeli apa saja (termasuk membeli pejabat-pejabat itu). Tapi kalau diakumulasi, memang, KPK belum ada apa-apanya dibanding Buaya yang penangkarannya ada di Trunojoyo I itu. Polri punya sistem yang menggurita. Dari Sabang sampai Merauke ada perwakilannya. Mulai dari level provinsi sampai level kecamatan. Di situ ada Kapolda, Kapolres, dan Kapolsek. Jenjang karir juga begitu terang benderang. Ada sekolah untuk berbagai level perwira. Sistem punish and reward juga sudah berjalan. Dan ini yang cukup menggetarkan, jumlah karyawan melebihi 400 ribu orang. Itulah mengapa pak Susno bisa dengan begitu yakinnya mendeskripsikan mereka sebagai Buaya yang tentu saja jauh lebih jumawa ketimbang cicak-cicak di dinding. Tapi maaf pak Susno, besar itu bukan ukuran. Besar juga tak melulu yang kelihatan. Besar juga bukan pengalaman, pangkat, dan jabatan. KPK memang belum genap delapan tahun. Tapi di usianya yang belum lulus sekolah dasar itu, KPK sudah berhasil membuktikan bahwa integritas itu barang langka yang harganya sangatlah mahal. KPK memang anak kemaren sore. Tapi diusianya yang baru sekemarenan itu KPK sudah bisa menunjukkan bahwa tidak perlu hidup seribu tahun agar bisa hidup dengan cara terhormat. Ada yang bilang KPK bisa seperti itu karena gaji, tunjangan, dan fasilitas yang didapat sudah cukup mencegah kebandelan anggotannya. Tapi jangan cemburu dulu kawan, itulah buah dari integritas dan kualitas kerja yang terjaga. Walhasil pantaslah jadinya kalau si Cicak jadi Buaya dan si Buaya jadi Cicak. Belajar dari Cicak vs Buaya, jadi ‘besar’ dan terhormat memang tak perlu menjadi besar dan berpangkat. Cukup pelihara saja kejujuran; kesabaran; kualitas kerja; kebersihan pikiran, hati, dan tindakan; dan (ini yang paling sulit) sepenarian antara ucapan dan tindakan. Kalau bisa seperti itu, babu pun bisa jauh lebih ‘besar’ ketimbang majikan.

Receh

Saya biasa ngumpulin uang receh kembalian di satu tempat. Pelan tapi pasti uang receh itu akan menumpuk. Nilainya yang tadinya ‘receh’ dan cuma cukup buat beli shampoo itu pun jadi lebih bertaji. Kalau ditotal nilainya bisa ratusan ribu. Lumayan cukup buat beli shampo sachetan satu dus. Tapi, karena kerecehannya itulah seringkali bikin saya kurang peduli kabarnya. Apalagi lokasi tabungan receh itu tidak istimewa yaitu bersebelahan dengan tumpukan koran bekas. Padahal di balik kerecehannya itu, si uang receh sering jadi begitu penting di saat-saat genting (baca: boke bin kere). Kadang kecewa juga. Karena ternyata uang receh yang dengan penuh kesabaran dan ketelatenan dikumpulkan itu jumlahnya tidak sesuai perkiraan. “Seharusnya si receh sudah memenuhi tabungan. Tapi kenapa gak penuh-penuh juga?" Kalau sudah begini, mesin buruk sangka langsung bekerja. “Ah, jangan-jangan si mbak (pembantu)....” Berikut daftar alasannya. Cuma si mbak yang bisa leluasa masuk kamar ketika tidak ada siapapun di rumah kecuali dirinya. Apalgi tabungan ini begitu ekstrovertnya. Dia hanya berupa wadah tanpa penutup, yang tentu saja, sangat mudah bagi siapa saja untuk menjangkau isinya. Tapi itulah. Seringkali kesal alang kepalang kalau tahu ternyata tabungan receh itu jumlahnya tak sesuai perkiraan. Maklum, lagi butuh *banget*. Satu waktu saya lagi pulang kantor. Seperti pada umumnya hari-hari lain, lewat Jalan Sudirman yang macetnya ampun-ampun itu. Di pertigaan sebelah gedung Sampoerna Strategic Building ada tukang atur jalan yang bersemboyan, “Yang bayar lewat duluan”. Jujur saja, seringkali jengkel juga dibuat ulah mereka. Bukan tidak jarang alih-alih bikin jalan makin lancar, justru bikin jalan makin awut-awutan. Walaupun kasihan juga. Mereka juga pasti terpaksa kerja begitu. Di tengah macet yang menggerutu itu, si bapak pengatur jalan dapet bayaran. Cara dapetnya kurang elegan. Si uang jatuh ke jalan. Lalu dengan cekatan langsung disambar si pengatur jalan. Saya tidak tahu berapa uang yang dia dapat. Yang pasti bukan uang kertas. Dan itu berarti uang recehan yang nilainya tidak lebih besar dari seribu rupiah. Tapi satu hal yang membuat saya tak mau lepas mengamatinya. Dia begitu perhatian dengan uang receh itu. Dia langsung diam dan mengamati dengan sangat dekat uang receh itu. Di dekatkanya ke wajahnya yang dekil. Dari raut mukanya, saya kira, si bapak ingin tahu berapa nilai uang receh yang baru di dapatnya. Sejurus kemudian, si receh dibersihkan dan langsung dimasukkan kantong bajunya. Saya jadi malu sendiri. Betapa saya seringkali melupakan uang receh. Tidak pernah rasanya saya menghormati dan mengargai si receh seperti halnya bapak parkir itu. Recehan di mobil pun seringkali geletak begitu saja. Berantakan. Posisi receh bagi saya hanyalah penyelamat di saat-saat genting bin kepepet bin kantong kering. Uang receh itu seperti halnya makhluk lain yang kurang saya perhatikan karena saya anggap nilainya juga ‘recehan’. Baru ingat makhluk receh itu kalau lagi kepepet. Baru merasa kehilangan kalau tidak ada di genggaman. Tuhan nasehati saya lewat si bapak pengatur jalan. Agar besok lebih peduli dan menghargai makhluk sereceh apapun itu. Karena kita baru tahu betapa berharganya siapapun dan apapun itu ketika ia tak lagi di genggaman.

Jejak Air

Semua berubah. Ada yang membaik, ada yang memburuk. Seperti air yang mengalir dari matanya. Dari jernih lalu berubah-ubah hingga tiba di muara. Air itu ada yang tetap jernih atau mengeruh dari asalnya. Jalur yang dilalui mengubahnya jadi lebih jernih atau bahkan lebih kelabu. Kikis tanah bisa mencoklatinya. Lalu dalam perjalanan, pasir dan bebatuan menyaring air dari guguran tanah yang mencoklati. Ketika air terus mengalir ia akan tidak berbau. Ketika ia diam ia bisa membusuk. Walaupun kadang dalam hening dan tenangnya air juga bisa mengendapkan kotoran. Mungkin karena itu juga sewaktu-waktu kita perlu tenang dan hening agar bisa lebih jernih berpikir dan merasa. Hidup kita ini memang seperti perjalanan air dari sumber ke muaranya. Ada yang menjadi lebih baik atau sebaliknya. Liku jalur yang dilalui adalah gelombang hidup yang mewarnai. Air di matanya adalah kelahiran manusia. Hilir adalah kematian. lalu muara di laut adalah kehidupan nanti. Sangat luas dan seperti tak berbatas. Air memang bisa jernih jika tidak tersentuh sehinga murni sejak muncul di hulu dan tiba di muara. Tapi itu juga bisa berarti air itu belum teruji sehingga pantas akan selalu sejernih asalnya. Tapi alur sungai tidak seperti itu. Akan selalu ada limpahan guguran erosi tanah, buih sabun dari rumah tangga, limbah tinja manusia, renik kotoran ikan, dan buangan pabrik mematikan. Seperti hidup. Selalu akan ada warna-warni, naik turun, pasang surut, hitam putih, dan riak gelombang. Air akan berarti ketika berguna di sepanjang lintasan yang dilalui. Agar tepi menghijau, ikan betah dan kerasan, dahaga lepas, generator listrik berputar, kotor badan dan pakaian luruh. Walaupun memang untuk itu air akan mengeruh. Seperti air di lintasan, hidup pun seperti itu. Harus siap keruh agar bisa lebih berarti. Lalu berharap ada pasir yang menyaring, ikan sapu-sapu yang membersihkan, dan tetumbuhan yang menyerap kotoran. Agar si air tiba di muara dalam kejernihan.

Anak-Anak udah Bobo Belum.....?

"Kamu ke mana aja..." tatapanmu lemah tapi dalam. Menhujam ke dalam hati ini. Justru, aku yang selama ini selalu berzikir dalam hati tentangmu. Kata-kata yang sama seperti kalimat mu saat ku kemudikan 'si tembem'.

"Kemana saja kamu...." Dulu aku sering bergurau dengan seorang teman. Tentang sosok perempuan ideal.

Tidak ada itu perempuan sesuai keinginan. Karena memang kita, manusia, justru sempurna dalam ketidaksempurnaannya.

Karena itu aku yakin, aku hanya bermimpi. Bahwa suatu saat nanti akan ada bidadari buah dari imajinasi. Sampai satu waktu. Seorang teman yang sebenarnya sudah jauh dari radar pergaulanku mengajak bertemu. Hari itu, Sabtu, 25 April 2009.

Hahaha.... Aku bahkan masih bisa tersenyum geli saat ini. Ketika tulisan ini kubuat. Bahwa teryata, aku pun masih sangat ingat tanggal dan hari serendipity itu.

Kabar pernikahan itu terus terang membuat hati ini bungah. Seorang teman seperjuangan zaman kuliah dulu, alhamdulilah, akhirnya akan segera menikah. Dia pinta aku menemuinya untuk seserahan kartu undangan. 

Tapi tentu kebungahan hatiku waktu itu belum ada apa-apanya ketika akhirnya aku bertemu seorang perempuan 'antah berantah' yang memporakporandakan benteng perasaan.

Ah, aku tahu. Kamu pasti tertawa lagi membaca tulisan gombal ini. Sepucuk undangan pernikahan itu temanku berikan dengan ditemani sang calon istri, dan: kamu.

Aku merasa perlu meletakkan titik dua (:) setelah kata "dan" dan sebelum kata "kamu". Karena memang sebenarnya kamulah akhirnya tokoh di foodcourt lantai 3A Plaza Semanggi di sekitar pukul 15.30 sore itu. Seperti bola salju.

Butir salju yang menggelinding itu lama kelamaan membesar dan akhirnya membentuk bongkahan terbesarnya.

Ya, ada bahasa tubuh dan kata-katamu yang memperbesar bola salju itu. Sebut saja bola salju itu adalah, ehm...., perasaannku padamu. (aduh, jangan tersipu lagi ya....) Aku yang sudah lama gantung jemari dari ulah tulis menulis kembali bisa menari lentik di atas keyboard laptop.

Tulisan demi tulisan mengalir deras seperti arus aliran air di selokan depan rumah saat hujan super deras mengguyur. Memang hanya sebagian kecil diantaranya yang bercerita tentangmu. Tapi yang lebih penting dari itu aku yakin ada unsur kamu di balik birahi menulisku itu.

Bola salju itu terus menggelinding hari ini, detik ini. Bahkan, ketika kamu membaca tulisan ini untuk pertama kalinya atau bisa jadi kelak saat kau baca kembali tulisan pujangga norak asal bekasi ini. (yey... thats me...!)

Mmmm.... Sambil kita biarkan bola salju itu terus menggelinding dan membesar. Aku cuma ingin mengenang kata-katamu di awal tulisan.

*************

Kamu bertanya kenapa aku baru muncul sekarang? Karena memang sekaranglah waktu yang tepat bagi kita untuk bertemu. Seperti matahari yang punya waktu tertepatnya untuk terbit ataupun tenggelam.

Kamu bertanya kenapa aku baru muncul sekarang? Kalau saja kita bertemu lebih cepat, rasanya mustahil kita bisa se tune-in satu sama lain seperti saat ini. Karena memang kita yang sekarang adalah bentukan dari yang lalu. Tentang manis dan pahit, pasang dan surut, tenang dan gelombang yang kita tanam dengan cerita kita dahulu di alam yang berbeda itu.

Kamu bertanya kenapa aku baru muncul sekarang? mmmm.... Nah, kali ini kamu bebas menjawab sendiri pertanyaan itu. Jalan di depan masih sumir. Tidak jelas. Seperti saat kamu membaca tulisan ini tanpa kacamata minus-mu yang frame nya besar itu. Cuma satu yang jelas: kesumiran tentang masa depan kita itu sendiri.

Seperti puzzle, kita sedang merangkainya satu-satu untuk membentuk gambaran utuhnya. Lalu kamu bertanya lagi suatu malam nanti dengan cemberut khas mu itu, "Kamu kemana aja...?" "Maaf sayang, tadi hp-ku lowbat.... Mati.... Kerjaan di kantor luar biasa menggunung. Tapi anak-anak sudah kamu tidurkan pulas kan?" Ah, semoga dialog itu bukan impian lagi. InsyaAllah....

Fotografer Sok Tau

Kita tidak akan pernah tahu. Semua ini hanyalah penggalan demi penggalan yang selalu kita interpretasikan. Seolah-olah, kita tahu semuanya. Tentang yang ada di depan mata ataupun kejadian-demi kejadian “katanya”. Seperti ribuan fotografer yang turun ke jalan di tempat dan waktu yang sama. Semua membidik sesuka hati semua yang ada di ujung lensa. Tapi ribuan fotografer dengan kamera serupa itu selalu saja menghasilkan foto yang tidak sama. Itulah kita manusia. Berada pada momentum yang sama bukan berarti memaknai semua dengan cara dan perolehan yang sama. Seperti citra foto, slide per slide selalu berbeda. Angle bergeser satu mili meter saja bisa membedakan hasil karya. Terpaan cahaya matahari yang redup terang bergantian juga memantulkan kesan citra yang berbeda. Buka tutup diafragma dan cepat lambat rana kamera membuat karya foto berbeda-beda. Merasai hidup adalah merasai kerelatifan rasa. Memaknai hidup adalah membekukan kefleksibelan makna. Semua yang terlihat ini seperti nyata. Walaupun nyatanya lebih banyak pura-pura. Ombak bergelinjang di permukaan bukan berarti di dasar lautan tidak tenang. Permukaan air yang tenang bukan berarti tanpa gelombang di kedalaman. Senyum kawan bukan selalu berarti persahabatan. Marah kawan bukan berarti permusuhan. Karena kita manusia tidak pernah tahu apa yang nyata dan pura-pura. Itu hanya ada di kedalaman hati. Yang, sungguh, nyaris tidak berdasar. Jika saja saya atau kamu sama-sama memperoleh ‘sesuatu’ yang katanya anugerah dan kenikmatan, itu pun bisa jadi bukan begitu adanya. Toh nyata-nyata banyak yang terjerumus dalam anugerah-anugerah itu. Anugerah yang katanya indah itu pun selalu bermata dua. Ada hitam dan putih yang menyertainya. Dua tahun kulewati jalan yang sama dari rumah ke kantor. Namun, sepanjang itu juga akan selalu ada sensasi yang berbeda dari ratusan perjalanan itu. Seperti pagi tadi, ketika laju kendaraan lebih lambat dari biasanya. Aku bisa dengan leluasa melihat-lihat kanan kiri jalan dengan pergerakan yang berbeda. Lebih rinci lagi. Umpamanya keindahan jajaran rumah tua yang masih cantik bersolek di sepanjang Jalan Latuharhari Jakarta Pusat. Fakta yang sama di lintasan yang sama dalam dua tahun terakhir pun menjadi nampak berbeda. Kadang, kemacetan juga memberikan sisi terbaiknya. Ketika mobil terkunci di tengah jalan raya. Saat itu juga aku bisa lebih tahu detail muka dan menangkap sisi kemanusiaan penguna jalan lainnya yang berjubelan di bis-bis kota atau calon penumpang yang menumpuk di perempatan Casablanca-Sudirman. Ya, sisi kemanusiaan para pekerja ibukota yang ‘rela’ berjibaku dengan keruwetan Jakarta. Andai saja langkah ini bisa konstan menjejak perlahan jalan demi jalan. Pasti akan lebih banyak lagi cerita yang bisa ditangkap dan dicerna. Tentang bagaimana sabarnya seorang pembantu menggendong anak-anak majikan yang sudah minggat ke kantor subuh hari. Tentang tukang ojek yang dengan sabar berbanjar rapi di perempatan menunggu gilir jatah tarikan. Tentang kisah pedagang asongan di perempatan lampu merah yang bersuka cita ketika macet menjadi-jadi. Tapi nampaknya selama ini langkah ini memang tak bisa perlahan. Sehingga terlalu banyak keputusan yang diambil dalam ketergesaan. Sekalipun tahu, dalam laju tinggi, pepohonan dan jajaran rumah di kanan kiri jalan tidak jelas terlihat karena tercitra sekelebatan. Seperti milyaran fotografer yang ditebar Tuhan di bumiNya. Kita selalu hanya bisa menangkap keutuhan alam semesta dan kisah di dalamnya dalam penggalan-penggalan sederhana. Sekalipun kita tahu, yang tertangkap lensa kamera, bukanlah gambaran seutuhnya.

Kemas-Kemas

Berawal dari keisengan buka Youtube. Saya menemukan beberapa video tentang kematian. Tentang betapa mencekamnya sakaratul maut. Sesuatu yang PASTI kita semua akan hadapi. Kita, semua akan mati. Dan itu bisa jadi, hanya sesaat setelah membaca tulisan ini.

Nabi Muhammad SAW pernah bersabda. “I’mal li dunyaka ka annaka ta’iisyu abadan, wa’mal li akhirataka, ka annaka tamuutu ghadan” Berbuatlah untuk duniamu seakan-akan kamu hidup selamanya. Dan berbuatlah untuk akhiratmu seakan-akan kamu akan mati esok hari.

Poin pertama sebagian besar dari kita bisa jadi sudah terbiasa. Kita begitu bersemangat bangun pagi. Tapi coba kita tanyakan lagi. Apa benar bangun segera kita itu karena takut kesiangan shalat Subuh? Atau, tergesa bangun karena takut telat masuk kantor dan takut terjebak macet?

Di kantor, kita sanggup duduk berjam-jam, mondar-mandir ke sana kemari bertemu patner kerja atau klien, ikut rapat berlama-lama dengan penuh semangat. Tapi seserius itukah kita ketika shalat yang hanya memakan durasi sebentar itu?

Jangan-jangan dunia kita sejatinya lah akhirat kita. Karena nyata-nyata kita begitu serius menghadapi dunia tapi hanya secukupnya menghadapNya.

Hari ini saya bertemu Pak Budi Soehardi. Seorang pilot asal Jogjakarta yang mendermakan hidupnya buat mereka yang ‘kurang beruntung’. Pak Budi menjadi satu dari 10 nominator CNN Heroes 2009. Dia membangun Panti Asuhan Roslin. Ada sekitar 48 orang anak yang diasuhnya. Membangunkan rumah dan membekali dengan sandang pangan dan pendidikan memadai.

Memang, pertemuan itu bukan tatap muka. Saya menemuinya di dunia maya. Melihat Pak Budi menampar batin saya. Tentang apa yang sudah saya lakukan untuk sesama. Padahal jelas, Nabi pernah berpesan, “Khairukum anfa uhum linnaas”. Sebaik-baik kalian adalah yang bermanfaat bagi sesama.

Kesempatan untuk berbagi itu hanya diberikan Tuhan sejenak. Kita pasti mati. Dan itu bisa jadi tak lama lagi. Sudah siap?

Mencari Intisari

Pertanyaan standar basa-basi pergaulan, “Asalnya dari mana mas/mbak?”. Pertanyaan ini bisa berujung jawaban segala rupa. Kadang juga bikin bingung. Buat yang blasteran enggak karuan jawabannya bisa sungguh bermacam-macam. Kalau sudah kehabisan akal, paling ujung-ujungnya akan menjawab, “Saya orang Indonesia”. Hari gini, sebenarnya pertanyaan di awal pembuka tulisan ini memang sudah enggak zaman. Sangat lain halnya zaman dahulu kala ketika eksklusifitas asal muasal dan budaya yang diusungnya masih sangat dijungjung tinggi. Zaman ketika pernikahan lintas suku susahnya ampun-ampun. Dengan rupa-rupa lika-liku ragam adat istiadat, hampil mustahil rasanya orang Jawa menikah dengan orang Batak ketika Majapahit masih berkuasa. Bahkan dalam beberapa kasus kisah raja-raja, nikah lintas kultur bisa berujung pertumpahan darah. Awut mawutnya kehidupan sekarang, pantas jadinya kalau pertanyaan, “Asal mas/mbak darimana?” menjadi *beneran* tidak relevan. Satu waktu saya ikut psikotes. Ada seorang peserta yang bingung bukan kepalang ketika harus menjawab pertanyaan, “Suku apakah Anda?” Maklum saja, dia mengaku punya darah Sunda, Jawa, juga Sulawesi yang mengalir tak beraturan dari darah ibu, bapak, dan juga kakek-neneknya. Si pria itu pun makin bingung karena nyata-nyata ia lahir di satu tempat dan tumbuh di berbagai daerah. Sudah mafhum juga, hari gini pertemuan lintas budaya begitu mudahnya. Isolasi alam zaman dahulu kala yang membuat sebuah budaya bisa lestari dan terjaga pun sudah terbuka. Pesawat terbang bisa masuk sampai pedalaman Papua. Jejaring komunikasi lewat telepon, internet, televisi, dan radio juga membuat siapa saja bisa bertukar apa saja termasuk nilai-nilai budaya dengan begitu mudah dan cepatnya. Sampai di sini cukup dulu curhat tentang identitas budaya kita yang semakin tak karuan itu. ********** Semalam, saya silaturahmi ke rumah kawan lama waktu mondok di pesantren. Teman saya yang mengaku ustad NU (Nahdlatul Ulama) ini mangkel bukan kepalang dengan tingkah sekelompok orang yang melarang tahlilan. Dengan semangat membara khas anak muda, teman saya itu pun siap berdebat dengan mereka yang melarang tahlilan. Beruntung debat itu berhasil dicegah karena khawatir bisa berujung huru hara. “Kalo dia gak terima tahlilan, silahkan aja. Tapi enggak usah nunjuk-nunjuk orang yang tahlilan itu salah! ” sungutnya dengan langgam betawi yang masih kental. Lalu baru pagi ini saya baca sebuah tulisan di Kompas tentang kiprah seorang seniman asal Bantul Jogjakarta bernama Nasirun. Dia punya rumah sangat indah-- paling tidak menurut saya. Rumahnya yang berdesain siku-siku tajam dan ekstrim dikelilingi taman dengan tumbuhan besar dan rindang. Yang paling menyita perhatian, dia secara khusus mendatangkan sebuah mushola tradisional dari Madura. Bentuknya panggung, terbuat dari kayu, dan beratap gedek. Nasirun mengaku terinspirasi dengan petuah Gus Dur, “Biar yang orang Kristen Indonesia tidak perlu ke barat-baratan dan orang Islam Indonesia tidak perlu ke arab-araban”. Batin saya membenarkan. Toh kenyataannya, musholla memang bisa berbentuk apa saja selama terbuat dari bahan baku halal dan juga suci. Terpenting lagi, musholla itu tentunya juga benar-benar digunakan untuk shalat. Bagi saya itu artinya mencari hakikat. Kenyataannya kita memang seringkali tergila-gila dengan sebuah budaya yang menurut kita paling beradab, disadari atau tidak disadari. Saking fanatiknya, dengan alasan mengikuti sunah Rasullullah SAW, kadang-kadang kita berpenampilan sangat ketimur-tengahan. Bahkan terkadang terkesan lebih arab daripada orang arab sendiri. Satu waktu saya membatin, kalau saja nabi dilahirkan dan berdakwah di Indonesia, bisa jadi sarung akan menjadi sunah nabi. Kita, eh bukan, saya, seringkali terjebak dalam simbol-simbol. Padahal simbol itu tidak berdiri sendiri kecuali lahir dengan nilai-nilai di dalamnya. Walhasil, karena terlalu peduli dengan simbol, saya jadi lupa dengan nilainya. Simbol adalah yang terlihat, sementara nilai adalah yang hakikat. Karena lebih peduli pada simbol itu jugalah saya pun bisa sangat dengan mudah tertipu dengan penampilan orang. Karena kebodohan orang seperti saya inilah lahir penipu-penipu yang menjadikan simbol sebagai alat untuk meraup keuntungan. Ada copet berjas dan berdasi yang begentayangan di bus Transjakarta. Ada juga penipu berkedok pencari sumbangan pendirian masjid yang mengenakan peci, baju koko plus doa-doa dalam bahasa arab yang sudah hapal luar kepala. Ada juga orang bermulut manis supaya saya jadi gelap mata. Bukan tidak jarang, orang-orang lugu seperti saya sangat mudah terpedaya dengan semua simbol-simbol manis itu. Karena ketololan saya itulah ingin rasanya belajar dari teman yang marah karena dilarang tahlilan dan Nasirun yang mendirikan Musholla ala Madura. Bahwa, saya bisa tampil dengan cara apa saja selama faham makna di baliknya. Biarkan juga orang lain menari sesuka mereka selama mereka tahu apa nilai di balik tetarian itu. Karena lagi-lagi saya ini hanya manusia, yang bernilai bukan karena tampilannya, namun karena nilai-nilai yang diyakini, diperjuangan dan dijalani. Wallahu a’lam bishawab....

Busung Hati

Satu hal yang sulit ditaklukan: hati. Sekalipun kita tahu berdasarkan yang di hati itulah Tuhan menilai. Tiga warisan purba yang paling ditakuti tinggal di hati. Sombong. Konon, inilah penyakit hati yang paling pertama muncul di dunia. Ketika setan enggan mengakui keunggulan manusia walaupun itu atas perintah Tuhan. Serakah. Setelah sombong lahirlah serakah. Ketika Adam dan Hawa ingin kekal berada di surga. Karenanya, ia tergoda bisikan setan untuk memakan buah Khuldi. Padahal, di surga saat itu, semua boleh dimakan kecuali Khuldi. Lalu setan menggoda, bahwa pelarangan itu agar Adam dan Hawa tak kekal di surgaNya. Keserakahan Adam dan Hawa mendorongnya untuk memakan satu-satunya makanan yang dilarang Tuhan. Iri Hati. Qabil iri dengan Habil setelah kurbannya untuk Tuhan tidak diterima sementara kurban saudaranya, Habil, diterimaNya. Karena iri dengan prestasi adiknya itu, Qabil pun melakukan pembunuhan manusia terhadap manusia yang pertama kali terjadi di bumi. Habil mati atas nama rasa iri saudara kandungNya sendiri. Karena lahir pertama, sombong menjadi ibu dari banyak penyakit hati lainnya. Sombong bisa melahirkan iri hati. Sombong juga bisa melahirkan keserakahan. Hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan Muslim. “idzaa qaalarrajulu ‘halakannaasu fa’huwa a’hlakuhum”. “apabila seseorang berkata didorong rasa sombong, celakalah manusia, lalu ia menjadi orang yang paling rusak” Semoga hati ini selalu terjaga. Amin. Wallahu’alam bisshawab.

Masih di Situ

Satu hari di Oktober 2007. Anak laki-laki itu masih sangat kecil. Tidur manis di buaian ibunya. Ketika sadar anak itu lahap menyantap asi ibunya. Sementara kakaknya yang perempuan duduk di sebelah sang ibu sambil menengadahkan tangan ke pengguna jalan yang melintas. Ketika jalan mampat, seperti sudah terprogram, sang kakak langsung jalan dan dengan muka ‘lempeng’nya menjulurkan tangan ke pengemudi motor dan mobil yang berhenti. Ibu dan dua anak itu pengemis di perempatan UI Salemba, di depan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, dan juga Kampus YAI dan UKI. Ketiganya duduk di trotoar di bawah lampu merah. Karena itu, muka mereka dan si bayi kecil pun sejajar dengan knalpot dan asap limbah kendaraan. Pemandangan itu dua tahun lalu, ketika aku melintasi rute baru menuju kantor baruku saat itu. Kini si bayi di buaian itu sudah besar. Apa karena itu juga saya tidak lagi melihat ada ibunya di sekitarnya. Si bocah lelaki dan sang kakak pun nampak mandiri di usianya yang masih sangat belia. Sekalipun berpeluh, tidak ada keluh di wajah mereka. Karena memang mereka terkondisikan untuk melihat dunia dengan cara seperti itu sejak mereka belum mengerti apa-apa. Sepanjang dua tahun itu tidak pernah serupiahpun saya berikan ke anak itu. Sepanjang waktu yang lewat itu saya selalu berkeyakinan bahwa memberikan serupiah saja ke anak itu sama saja dengan memakunya untuk terus hidup dengan cara meminta-minta. Kenyataannya, dua tahun berlalu, kedua anak itu tetap ada di situ. Bahkan kali ini mereka terlihat jauh lebih mandiri dengan tanpa ibu di samping mereka. Saya sama sekali tidak tahu bagaimana kabar ibunya. Namun, yang pasti si anak terlihat riang menjalani profesi yang diwariskan dari ibunya. Dua tahun berlalu, dan saya tidak berbuat apa-apa untuk mereka. Termasuk, bisa jadi, jutaan orang yang lewat di depan mereka. Jutaan orang itu: dosen, mahasiswa, peneliti, aparat pemerintah, polisi, satpol PP, pelajar, ustad, wartawan, menteri, anggota dewan, hakim, jaksa, seniman, dan segala rupa profesi lainnya. Antara acuh tidak acuh. Antara peduli tidak peduli. Faktanya, dua anak itu masih di situ.

Seminggu Lagi Mati

Saya akan mati satu minggu lagi. Saya tidak sedih mau mati. Karena mati itu pasti. Saya hanya sedih, karena saya—ternyata—belum bisa menjadi yang terbaik buat orang-orang terdekat di usia saya yang sangat singkat. Karena akan mati satu minggu lagi, saya pun berbenah habis-habisan. Melihat ke belakang kesalahan-kesalahan. Supaya pas mati nanti, tidak ada lagi yang menggantung dan harus dipertanggungjawabkan. Beruntungnya, saya tahu satu minggu lagi saya akan mati. Jadi, saya punya waktu untuk menjadwalkan persiapan apa saja sebelum mati. Saya listing satu per satu siapa saja yang harus saya temui. Untuk minta maaf dan bilang terima kasih ke mereka bahwa mereka sangat penting dalam perjalanan hidup saya yang singkat ini. Umur saya cuma dua tahun lebih sedikit. Ya… kurang lebih, lebihnya sekitar dua bulan. Singkat kan? Tapi kalo bicara dosa, dua tahun itu sebenarnya sudah sangat cukup untuk mengumpulkan bahan bakar siksa kubur. Sayangnya, saya cuma punya waktu satu minggu untuk mengubur dosa-dosa yang menggunung itu. Tidak cukup. Karena ternyata, sangat banyak orang yang sudah saya zhalimi dan tidak saya terima kasihi. Sekalipun seminggu yang tersisa itu sudah penuh dengan agenda-agenda permohonan maaf dan ucapan terima kasih, ternyata waktunya belum cukup juga. **************** Saya mati satu minggu lagi. Setelah dua tahun lebih sedikit kerja di TV, hari itu datang juga. Saya mundur dan pindah haluan ke bidang lain. Mundurnya saya dari wartawan adalah mati kecil. Seperti kiamat yang kata orang ada juga kiamat kecil. Mati itu tidak melulu nyawa lenyap dan jasad dikubur. Mati itu berulang kali terjadi dalam hidup ini. Ketika lulus SD sebenarnya itu mati dari masa kanak-kanak dan mulai pindah ke alam remaja. Ketika masuk bangku kuliah, itu mati dari alam remaja dan belajar menjadi dewasa. Ketika menikah, itu mati dari rasa egoisme sendiri untuk memulai hidup bersama. Mati adalah ketika kita menutup yang lalu dan membuka yang baru. Sebelum mati-mati kecil itu pantas rasanya kalau bermaaf-maafan dengan orang-orang yang paling sering kita temui dan karenanya sangat sering kita dosai. Lihat saja mereka yang baru menikah lalu sungkem dan nangis habis-habisan dengan orang tuanya. ************** Memang sangat tidak mungkin hidup tanpa dosa. Buktinya Tuhan lebih suka orang yang sering bertaubat dan membersihkan diri. “Innallaaha yuhibbuttawwabiina wa yuhibbul mutatohiriin….” Sesungguhnya Allah mencintai orang yang bertaubat dan mensucikan diri. Tuhan tidak suka orang yang suci. Karena memang itu tidak mungkin. Sebaliknya, Tuhan paling benci orang yang sok suci. “Fa laa tudzakkuu anfusakum” Dan janganlah anggap diri kalian suci. Beruntungnya mati-mati kecil itu, kita masih punya waktu untuk ba bi bu kanan kiri. Karena tahu jadwal kematian itu, kita pun masih bisa sungkeman sana-sini. Sekalipun tahu kapan kita akan mati, kita sering lupa mengisi rentang waktu yang singkat itu. Dengan tidak melukai kawan dan lebih banyak memberikan perhatian. Mohon maaf ketika berbuat salah masih hangat. Berterima kasih ketika baru saja menerima bantuan. Satpam kantor itu saban hari menjaga gerbang dan menjaga keamanan kantor yang ada kita di dalamnya. OB yang saban hari merapihkan meja kita yang berantakan dan siap siaga menyiapkan teh dan kopi saat kita minta. Lainnya tentu masih banyak lagi. Orang-orang di sekitar yang sadar tidak sadar banyak berperan tapi sangat kurang kita perhatikan. *********** Buat semua kawan di TV One terima kasih buat cerita yang dibangun bersama dua tahun ke belakang.

Separuh Jalan ke Surga

Kata siapa menikah itu indah? Saya memang belum menikah. Baru tahu cerita kehidupan setelah menikah juga dari cerita sana sini. Misalnya, liat infotainment tentang perceraian para artis negeri ini yang ceritanya bisa jadi sinetron berseri (sekalipun waktu pacaran, nikah, n beberapa tahun setelah menikah hidupnya keliatannya indah luar binasa). 


Selain itu juga berulangkali tebar tanya ke teman, bapak, atau ibu yang sudah nikah. Intinya ya….kalimat di awal pembuka tulisan itu, “kata siapa menikah itu indah?”


Lupakan kisah manis berbunga-bunga Romeo-Juliet yang di mabuk asmara. Bahkan ujung-ujung nya sampai rela berkalang nyawa nenggak racun bersama-sama. Kalau punya bayangan-bayangan indah lainnya, lupakan saja dari sekarang. 


Buat yang pacaran, percaya deh, nikah itu –kadang—gak seindah pacaran. (maklum lah pacaran kan setan melulu isinya. Sementara kata Tuhan, setan kerjanya emang bikin yang salah jadi terasa indah).


Menjelang nikah wajah calon pengantin berseri-seri. Tentu tidak masuk hitungan mereka yang menikah karena, maaf, terpaksa karena banyak alasan. 


Saya enggak tahu apa yang ada di bayangan calon pengantin yang sedang bungah bahagia. Yang pasti, minimal—mungkin—membayangkan malam pertama yang katanya bikin deg deg ser…. (note: ini khusus capeng yang belum MP ya….) 


Hasil investigasi dan lamunan kecil saya pun menyimpulkan, bahwa menikah memang bukan Indah, tapi menakjubkan. :D 


********* 


Menikah itu berarti: 

  • Siap menerima kenyataan bahwa pasangan kita ternyata enggak segitu-segitunya. 
  • Tapi kalau udah tahu begitu ya harus belajar juga menerima pasangan apa adanya.
  • Siap menghirup harum semerbak buang angin pasangan di kamar tertutup. 
  • Siap giliran bayar listrik, PAM, pulsa, keamanan komplek, zakat, belanja bulanan, kredit rumah dan kendaraan, nabung pendidikan anak, bayar polis asuransi kesehatan, belanja tahunan untuk lebaran dan hajatan besar lainnya, uang ekstra untuk saudara-saudara, dsbg..
  • Siap siaga menenangkan si dede kecil di malam buta saat mata ngantuk luar biasa dan badan capek gak ketulungan.
  • Karena poin barusan, harus siap juga maksain kerja maksimal di tengah kondisi badan dan mata yang cape karena semaleman lembur jagain anak.
  • Sabar…. Sabar…. Sabar…. waktu badan dan pikiran capek baru pulang kantor tapi anak pada rewel dan istri lagi ngambek.
  • Siap ribet sama urusan keluarga besar (yang katanya bahkan sering lebih ribet daripada ngurusin rumah tangga sendiri).
  • Siap ribet bersolek hampir setiap akhir pekan untuk menuhin undangan nikahan atau sunatan.
  • HARUS gak tergoda rumput tetangga yang selalu terlihat lebih hijau (rumput tetangga di sini bisa juga berarti tergoda PIL atau WIL).
  • Terus kalo udah terlanjur tergoda harus segera taubat dan sabar membenahi kerusakan rumah tangga yang dibuat sendiri.
  • Teguh pendirian menerapkan pola hidup sehat semua anggota keluarga (biar gak gampang masuk rumah sakit).
  • Kalo udah terlanjur ada yang sakit (suami, istri, atau anak) ya harus sabar-sabar merhatiin dan nungguin sampe sembuh juga sabar bayar obat dan perawatan (kecuali kalo punya asuransi dan bisa cover semua biaya).
  • tekun nganter anak sekolah.
  • Sabar… sabar… sabar….. mendidik dan membesarkan anak di tengah jaman dan lingkungan yang sudah sangat sangat sangat terbuka seperti saat ini.
  • Tetap berusaha menjadi tetangga yang baik sekalipun tetangga kita itu kurang ajar minta ampun.
  • Mengatur keuangan rumah tangga yang susahnya gak jauh beda sama susahnya ngatur anak sendiri.



Oh iya…. 
Nikah juga berarti siap menghadapi perceraian (yang ini naudzubillah…. Semoga kita terhindar… amien….) 


Semua yang di atas itu saya sendiri belum pernah jalani. Tapi yang pasti, bisa jadi itulah yang akan terjadi. 


Bersiap saja dari sekarang bahwa, nikah ≠ indah. 


Beruntungnya, Rasulullah pernah bersabda, “nikah itu separuh agama”. Karena itu sekalipun manis-manis pahit, nikah sudah separo jalan selamat menuju akhirat.