12.30.2009

Ikrar (Tidak) Gombal

Kita ini saksi sejarah. Tentang orang-orang yang kontradiktif di rentang waktu hidupnya. Ribuan mahasiswa meruntuhkan rezim Soeharto. Mereka bilang anti KKN. Tapi kita juga tahu, sebagian dari mahasiswa itu pun saat ini sedang menganakpinakkan budaya KKN. Di bangku kuliah. Kita mereproduksi gagasan-gagasan cemerlang tentang moralitas. Dengan bangga menepuk dada. Bahwa kita manusia bersih. Tapi kita juga tahu kawan, kini, sebagian dari kita harus melacurkan janji-janji moral itu. Realitas yang ada lebih menggiurkan ketimbang impian gombal seorang mahasiswa. Semua juga tahu. Selingkuh itu najis. Zina itu amit-amit. Tapi nyatanya, orang-orang yang katanya tahu itu dan menjilati bangku kuliah sampai jenjang tertingginya juga yang ikut dalam hingar bingar perzinahan dan perselingkuhan. DPR yang parlente. KPK yang kece. Lembaga justisi. Akuntan. Polisi. Wartawan. Ibu rumah tangga. Semua sama saja. Lunglai di depan wanita/pria, tahta, dan harta. Terkulai di depan janji manis surga dunia. Tidak semua memang. Tapi mereka ada. Sebagian diantaranya menyobek janji-janji idealis yang pernah mereka dengungkan sendiri. Saya? Bisa jadi tidak lebih baik dari mereka. Kelak. Kamu, juga. Lalu kita berpesta pora dengan budaya neraka yang indah. Di langit norma-norma luhung itu ada. Hanya sebagian kecil dari kita yang bisa menggapainya. Bukan dengan besar bicara. Tapi dengan contoh dan bukti nyata. Kita ini manusia. Yang tahu bahwa hidup hanya sekelewatan. Tapi kita juga seringkali tak ingin kelewatan. Kesempatan menggantang nikmat duniawi yang selintasan. Padahal kita pun tahu, dunia itu cuma rangkaian kegombalan. Hidup ini sejatinya ikrar. Seperti syahadat di awal ikrar kita yang mengaku ber-Islam. Selanjutnya hanyalah rangkaian pembuktian. Ikrar itu nisbi. Tidak teraba. Tapi ada. Ikrar itu yang selalu memandu kita dengan kegaiban-nya. Seberapa tangguh kita berjalan di atasnya, sampai mati menjemput nanti.