12.30.2009

Mencari Intisari

Pertanyaan standar basa-basi pergaulan, “Asalnya dari mana mas/mbak?”. Pertanyaan ini bisa berujung jawaban segala rupa. Kadang juga bikin bingung. Buat yang blasteran enggak karuan jawabannya bisa sungguh bermacam-macam. Kalau sudah kehabisan akal, paling ujung-ujungnya akan menjawab, “Saya orang Indonesia”. Hari gini, sebenarnya pertanyaan di awal pembuka tulisan ini memang sudah enggak zaman. Sangat lain halnya zaman dahulu kala ketika eksklusifitas asal muasal dan budaya yang diusungnya masih sangat dijungjung tinggi. Zaman ketika pernikahan lintas suku susahnya ampun-ampun. Dengan rupa-rupa lika-liku ragam adat istiadat, hampil mustahil rasanya orang Jawa menikah dengan orang Batak ketika Majapahit masih berkuasa. Bahkan dalam beberapa kasus kisah raja-raja, nikah lintas kultur bisa berujung pertumpahan darah. Awut mawutnya kehidupan sekarang, pantas jadinya kalau pertanyaan, “Asal mas/mbak darimana?” menjadi *beneran* tidak relevan. Satu waktu saya ikut psikotes. Ada seorang peserta yang bingung bukan kepalang ketika harus menjawab pertanyaan, “Suku apakah Anda?” Maklum saja, dia mengaku punya darah Sunda, Jawa, juga Sulawesi yang mengalir tak beraturan dari darah ibu, bapak, dan juga kakek-neneknya. Si pria itu pun makin bingung karena nyata-nyata ia lahir di satu tempat dan tumbuh di berbagai daerah. Sudah mafhum juga, hari gini pertemuan lintas budaya begitu mudahnya. Isolasi alam zaman dahulu kala yang membuat sebuah budaya bisa lestari dan terjaga pun sudah terbuka. Pesawat terbang bisa masuk sampai pedalaman Papua. Jejaring komunikasi lewat telepon, internet, televisi, dan radio juga membuat siapa saja bisa bertukar apa saja termasuk nilai-nilai budaya dengan begitu mudah dan cepatnya. Sampai di sini cukup dulu curhat tentang identitas budaya kita yang semakin tak karuan itu. ********** Semalam, saya silaturahmi ke rumah kawan lama waktu mondok di pesantren. Teman saya yang mengaku ustad NU (Nahdlatul Ulama) ini mangkel bukan kepalang dengan tingkah sekelompok orang yang melarang tahlilan. Dengan semangat membara khas anak muda, teman saya itu pun siap berdebat dengan mereka yang melarang tahlilan. Beruntung debat itu berhasil dicegah karena khawatir bisa berujung huru hara. “Kalo dia gak terima tahlilan, silahkan aja. Tapi enggak usah nunjuk-nunjuk orang yang tahlilan itu salah! ” sungutnya dengan langgam betawi yang masih kental. Lalu baru pagi ini saya baca sebuah tulisan di Kompas tentang kiprah seorang seniman asal Bantul Jogjakarta bernama Nasirun. Dia punya rumah sangat indah-- paling tidak menurut saya. Rumahnya yang berdesain siku-siku tajam dan ekstrim dikelilingi taman dengan tumbuhan besar dan rindang. Yang paling menyita perhatian, dia secara khusus mendatangkan sebuah mushola tradisional dari Madura. Bentuknya panggung, terbuat dari kayu, dan beratap gedek. Nasirun mengaku terinspirasi dengan petuah Gus Dur, “Biar yang orang Kristen Indonesia tidak perlu ke barat-baratan dan orang Islam Indonesia tidak perlu ke arab-araban”. Batin saya membenarkan. Toh kenyataannya, musholla memang bisa berbentuk apa saja selama terbuat dari bahan baku halal dan juga suci. Terpenting lagi, musholla itu tentunya juga benar-benar digunakan untuk shalat. Bagi saya itu artinya mencari hakikat. Kenyataannya kita memang seringkali tergila-gila dengan sebuah budaya yang menurut kita paling beradab, disadari atau tidak disadari. Saking fanatiknya, dengan alasan mengikuti sunah Rasullullah SAW, kadang-kadang kita berpenampilan sangat ketimur-tengahan. Bahkan terkadang terkesan lebih arab daripada orang arab sendiri. Satu waktu saya membatin, kalau saja nabi dilahirkan dan berdakwah di Indonesia, bisa jadi sarung akan menjadi sunah nabi. Kita, eh bukan, saya, seringkali terjebak dalam simbol-simbol. Padahal simbol itu tidak berdiri sendiri kecuali lahir dengan nilai-nilai di dalamnya. Walhasil, karena terlalu peduli dengan simbol, saya jadi lupa dengan nilainya. Simbol adalah yang terlihat, sementara nilai adalah yang hakikat. Karena lebih peduli pada simbol itu jugalah saya pun bisa sangat dengan mudah tertipu dengan penampilan orang. Karena kebodohan orang seperti saya inilah lahir penipu-penipu yang menjadikan simbol sebagai alat untuk meraup keuntungan. Ada copet berjas dan berdasi yang begentayangan di bus Transjakarta. Ada juga penipu berkedok pencari sumbangan pendirian masjid yang mengenakan peci, baju koko plus doa-doa dalam bahasa arab yang sudah hapal luar kepala. Ada juga orang bermulut manis supaya saya jadi gelap mata. Bukan tidak jarang, orang-orang lugu seperti saya sangat mudah terpedaya dengan semua simbol-simbol manis itu. Karena ketololan saya itulah ingin rasanya belajar dari teman yang marah karena dilarang tahlilan dan Nasirun yang mendirikan Musholla ala Madura. Bahwa, saya bisa tampil dengan cara apa saja selama faham makna di baliknya. Biarkan juga orang lain menari sesuka mereka selama mereka tahu apa nilai di balik tetarian itu. Karena lagi-lagi saya ini hanya manusia, yang bernilai bukan karena tampilannya, namun karena nilai-nilai yang diyakini, diperjuangan dan dijalani. Wallahu a’lam bishawab....