12.30.2009

Berguru dari Buaya

Baru-baru ini ada juga ucapan terima kasih buat pak Susno yang kata Anggodo si Trunojoyo III itu. Mereka bilang,“Makasih pak atas ide bapak menjuluki KPK=cicak dan Polri=Buaya”. Asal bapak tahu, ide itu sangat mempermudah labelisasi perseteruan antara KPK dengan Polri dan Kejaksaan. Tidak cuma itu. Industri stiker, kaos, sablon, poster, dan lain-lain juga makin meriah. Beramai-ramai mereka memproduksi barang berlabel “Cicak vs Buaya”. Oh iya ada satu lagi. Penjual pita juga senang bukan main karena ternyata pita warna hitam yang selama ini termasuk yang paling tidak laku akhirnya laris manis di pasaran. Entah apa yang ada di kepala Pak Susno waktu melempar ide: KPK=Cicak & Polri=Buaya. Banyak orang beranggapan, itu adalah cara pak Susno mengerdilkan KPK dan membesarkan Polri. Singkatnya, pak Susno mungkin ingin bilang agar KPK tak usah banyak tingkah di depan Polri. Cicak bisa mejret bin mencret adu jotos lawan Buaya. Tapi entahlah. Kenapa makin hari, si Cicak terasa makin gagah saja. Ukurannya hari ini pun rasa-rasanya lebik raksasa ketimbang buaya. Bisa jadi cicak itu sudah kerasukan pendukungnya yang --setidaknya di Facebook-- sudah melewati angka 800 ribu orang. Jadilah sekarang si Cicak terlihat gagah di bawah kangkangan Polri, yang katanya besar itu. Kalo dilihat dari sejarahnya, KPK memang belum ada apa-apanya. Usianya belum juga delapan tahun. Sebaliknya Polri sudah ada sejak republik ini baru saja berdiri. Prestasi? Tentu begitu juga. KPK memang sudah berhasil mengamankan uang negara ratusan milyar rupiah, memenjarakan pejabat tinggi negara dan pengusaha yang bisa membeli apa saja (termasuk membeli pejabat-pejabat itu). Tapi kalau diakumulasi, memang, KPK belum ada apa-apanya dibanding Buaya yang penangkarannya ada di Trunojoyo I itu. Polri punya sistem yang menggurita. Dari Sabang sampai Merauke ada perwakilannya. Mulai dari level provinsi sampai level kecamatan. Di situ ada Kapolda, Kapolres, dan Kapolsek. Jenjang karir juga begitu terang benderang. Ada sekolah untuk berbagai level perwira. Sistem punish and reward juga sudah berjalan. Dan ini yang cukup menggetarkan, jumlah karyawan melebihi 400 ribu orang. Itulah mengapa pak Susno bisa dengan begitu yakinnya mendeskripsikan mereka sebagai Buaya yang tentu saja jauh lebih jumawa ketimbang cicak-cicak di dinding. Tapi maaf pak Susno, besar itu bukan ukuran. Besar juga tak melulu yang kelihatan. Besar juga bukan pengalaman, pangkat, dan jabatan. KPK memang belum genap delapan tahun. Tapi di usianya yang belum lulus sekolah dasar itu, KPK sudah berhasil membuktikan bahwa integritas itu barang langka yang harganya sangatlah mahal. KPK memang anak kemaren sore. Tapi diusianya yang baru sekemarenan itu KPK sudah bisa menunjukkan bahwa tidak perlu hidup seribu tahun agar bisa hidup dengan cara terhormat. Ada yang bilang KPK bisa seperti itu karena gaji, tunjangan, dan fasilitas yang didapat sudah cukup mencegah kebandelan anggotannya. Tapi jangan cemburu dulu kawan, itulah buah dari integritas dan kualitas kerja yang terjaga. Walhasil pantaslah jadinya kalau si Cicak jadi Buaya dan si Buaya jadi Cicak. Belajar dari Cicak vs Buaya, jadi ‘besar’ dan terhormat memang tak perlu menjadi besar dan berpangkat. Cukup pelihara saja kejujuran; kesabaran; kualitas kerja; kebersihan pikiran, hati, dan tindakan; dan (ini yang paling sulit) sepenarian antara ucapan dan tindakan. Kalau bisa seperti itu, babu pun bisa jauh lebih ‘besar’ ketimbang majikan.