12.30.2009

Jangan .... Lagi Sayang

Sudah hampir tiga bulan dia hanya di rumah. Wisuda tiga bulan lalu dari jurusan Biologi Universitas Padahal Ikip Bandung. Dia tidak melamar kerja kemana-mana. Karena adikku yang selalu ceria ini memang tidak berhasrat untuk kerja kantoran. 

Selama tiga bulan ia semedi di rumah. Bercengkerama dengan Bapak, Umi, dan De’ Wahid yang sudah 12 tahun terakhir jarang menghabiskan waktu bersama.

Farah adikku adalah anak keempat dari enam bersaudara. Di antara saudara-saudaranya yang lain, Farah paling jarang membuat masalah di rumah. Sejak di bangku Sekolah Dasar, prestasinya di bangku sekolah selalu menonjol.

Farah hampir selalu berada di top rangking. Tak jarang ia terpilih untuk mewakili sekolahnya dalam berbagai lomba ketangkasan otak. Waktu masih duduk di bangku SD, Farah sudah hapal satu juz dari alqur’an. Di banding saudara-saudaranya yang lain, Farahlah yang paling lama mukim di pesantren. Maklum, sementara lima saudara kandungnya yang lain mengenal pesantren usai lulus sekolah dasar, Farah sudah menjalani kehidupan pesantren sejak duduk di bangku kelas 5 SD.

Adikku ini memang luar biasa. Di manapun ia berada selalu membawa keceriaan. Wajar juga rasanya kalau ia punya banyak teman. Dan wajar juga rasanya kalau ia selalu dipilih teman-temannya untuk memimpin mereka. Di pesantren bahkan teman-temannya memanggilnya "Mamih".

Kecemerlangan adikku ini juga telah membuat persaudaraan tiga orang santri putra dedengkot pesantren agak terganggu. Ketiganya menyukai Farah, padahal mereka sudah tinggal satu kamar bertahun-tahun. Di antara ketiga orang itu, farah memilih satu di antaranya. Walhasil, hubungan persahabatan tiga sekawan itu pun gonjang-ganjing.

 Di kampusnya, ia juga memikat banyak pria. Tak tanggung-tanggung, seorang dosen bahkan terang-terangan menyukainya dan menginginkan adikku Farah untuk menjadi adik iparnya. Setelah 12 tahun lebih mondok dan lulus dari kuliahnya, Farah berencana mondok lagi. Rencananya memang tidak lama, hanya satu tahun. Tapi entah kenapa, terasa ada yang berbeda kali ini.

Sepuluh hari lalu bersama Bapak dan Umi, saya mengantarkannya. Pesantrennya di Cianjur. Tidak tahu cianjur sebelah mananya. Pesantren itu hasil rekomendasi salah seorang teman Farah di pesantrennya yang lama.

Berangkat dari rumah pukul sebelas, sampai di pesantren Cianjur pukul lima kurang. Cukup melelahkan. Lamanya waktu tempuh memang tidak kami sangka-sangka. Karena memang kami menyangka pesantren itu berada tak jauh dari kota.

Setelah mengikuti petunjuk teman adik saya, sampailah kami ke jalan aspal kecil mendaki yang sudah rusak di sana-sini. Sepanjang kiri kanan jalan sawah dan ladang (hahaha… jadi ingat lukisan sewaktu SD dan cerita mengarang bebas tentang kampung halaman….) Kuledek habis-habisan adikku Farah. "Jauh amat ya….", kataku sambil melirik penuh ledek ke arah adikku.

Farah hanya mesam-mesem manja meminta agar aku segera mengghentikan ledekanku. Hening, tenang, asri, dan indah. Pesantren itu sangat sederhana. Jauh juga dari hiruk pikuk kota. Adikku lagi-lagi cengar-cengir tak menyangka kalau pesantren yang akan ditinggalinya berada di ujung dunia. Akupun hanya bisa tertawa. Maklum saja, 12 tahun adikku mondok tak jauh dari kota. Bahkan sewaktu di Bandung adikku m mukim di pesantren yang berlokasi di Simpang Dago salah satu tempat favorit anak muda Bandung.

Tidak lama kami berada di sana, hanya sekitar setengah jam. Setelah mengangkat barang-barang adik, kami pun pamit. Kupandangi wajah adikku yang selalu ceria itu. Ia memandangi Umi dan Bapak. Hidungnya memerah.

Ia angkat tangannya menutupi sebagian wajahnya. Entah kenapa suasana menjadi haru tiba-tiba. Matanya yang celalu ceria tiba-tiba banjir air mata. Suaranya mulai parau. Tapi ia tetap tertawa. Dipeluknya Umi. Bapak mendekat dan berusaha menenangkannya. Aku coba cairkan suasana dengan meledeknya lagi. Ku tarik ujung-ujung bibirku jauh-jauh. Dia sedikit tertawa. Tapi candaku belum cukup untuk mengusap air matanya. "Doain Farah yaa….", rajuknya manja.

 Sebelum menginjak pedal gas, ku panggil adikku sekali lagi. Kutarik lagi ujung-ujung bibirku. Sambil mengusap air matany, dia tersenyum kecil. Aku pun tersenyum dan mulai menginjak pedal gas. Suasana di dalam mobil hening.

Aku diam. Umi diam. Bapak menyandarkan tubuhnya ke jok mobil dalam-dalam. Bapak juga diam. Tak lama, Bapak mencoba mencairkan suasana dengan mencari topik lain.

Sambil mengendalikan laju mobil di atas jalan aspal yang kacau, aku tetap diam. Tak terasa air mata akhirnya leleh juga, menjebol kepura-puraanku agar terlihat tegar.

 Adikku Farah. Anak yang paling sungkan membuat orang tua terbebani. Adik yang paling sering kucandai. Adik yang cerdas dan pandai bergaul. Ia tahu, pesantren itu harus ia datangi untuk mengerek ilmunya tinggi-tinggi.

Bapak sudah tua. Yayasan pendidikan yang dirintisnya harus terus berjalan. Akan datang waktunya ketika salah satu anaknya harus siap menggantinya. Untuk saat ini, dari enam anak bapak dan umi, Farah yang paling mungkin menerima tanggung jawab itu.

Membelah keramahan desa, kesejukan alam, landainya bukit, gemerutuk jalan berbatu, mengiris hamparan sawah dan ladang, hati dan pikirku bicara "Jangan menangis lagi adikku sayang…."

..... Jakarta, 23 Januari 2007 .....

Dua tahun berlalu. Kamu sudah besar dan sudah sangat pandai mengajar. Hmmm.... Minggu besok kamu menikah. Tentunya dengan lelaki terbaikmu. Aku yakin tangis itu akan ada lagi. Ketika bersamanya berucap janji sehidup semati. Tapi tak apa. Menangislah nanti sepuas mu. Seperti dua tahun lalu di desa itu.

 Bekasi, 3 Juli 2009
Umi dan Farah