12.30.2009

Kita Bobo Terus

photo: www.blogs.nature.com


24 jam Tuhan berikan ke semua orang. Termasuk Nabi Adam sekalipun waktu itu belum ada jam. Tapi benarkah kita memiliki ke 24 jam itu dalam kesadaran?

Andai saja, sehari sepertiganya kita alokasi untuk tidur. Itu berarti dua pertiga lainnya kita berikan untuk aktiifitas melek kita. Mulai dari jungkir balik kerja atau jungkang jungking kuliah. Tapi benarkah kita sudah sadar dalam duapertiga melek kita itu?

Waktu itu seperti udara yang baru saja kita hirup. Ketika kita hembuskan, maka udara itu tak mungkin lagi terhirup. Udara berikutnya bukanlah udara yang baru saja kita hembuskan. Waktu yang berlalu, pun tak mungkin lagi kita tarik.

Menjadi manusia adalah menyadari sepenuh keberadaannya. Membuka tabir di balik makna keberadaan, mencari panduan untuk menjalankan, dan berpegang pada panduan itu.

Kita semua sedang mencari. Ada yang merasa sudah menemukan panduan itu, walaupun tentu masih belum pasti. Tapi, itulah kita, makhluk renik melata di jagad yang seperti tak bertepi ini. Kita akan terus mencari.

Pencarian untuk apa? Harta, tahta, atau wanita/pria? Kita mengaku tahu bahwa harta itu hanya sarana, seperti halnya tahta dan wanita/pria. Sarana mencari ridho-Nya. Benarkah?

Hiruk pikuk dunia ini tak kenal kata henti. Kita beradu sprint dengannya. Kita coba taklukkan, walaupun berulangkali kita yang kalah. Karena dunia itu sudah menggenggam kita. Tapi terus saja kita mengaku, bahwa dunia itu hanya sarana. Benarkah?

Benarkah dunia sebatas sarana ketika Tuhan hanya kita temui dalam ketergesaan?

Benarkah dunia sebatas sarana ketika Ramadhan kita lewati sebatas pesta buka dan sahur tahunan?

Benarkah dunia sebatas sarana ketika shalat hanya seperti iklan di tengah program tv bernama pekerjaan?

Benarkah dunia sebatas sarana ketika kita bisa menangis sesengukan karena cinta kepada manusia tapi datar rasa di tengah shalat-shalat kita?

Benarkah dunia sebatas sarana ketika tangis dalam shalat kita sebenarnya untuk mengejar dunia itu sendiri?
 
Benarkah dunia sebatas sarana ketika zikir harian kita melulu gaji, bonus, THR, dan segala rupa pengisi rekening lainnya?

Benarkah dunia sebatas sarana ketika agama hanya pajangan kaligrafi di tembok-tembok rumah?

Benarkah dunia sebatas sarana ketika ayat-ayat Tuhan diperjualbelikan?

Benarkah dunia sebatas sarana ketika kita rela berhimpit macet di terik panas untuk cari uang sementara bertemu Tuhan 5 kali sehari tanpa macet dan panas pun bermalasan?

Benarkah dunia sebatas sarana ketika kenyataannya Tuhan hanya ada di pojokan?

Kita yang katanya tahu agama nyatanya memang sedang tertidur. Sangat lelap.

Kata Rasul, "Annaasu niyaamun, fa idza maatuu, intabahuu..." Manusia itu tidur, apabila mati, mereka baru tersadar....