12.30.2009

Menuju Yang Pasti

Tuhan selalu berkata-kata dengan kita. Tentang pritilan hidup yang selalu ada suka dan duka. Kita diminta untuk menarik hikmah darinya. Hidup ini sederhana. Sesederhana cara Tuhan menciptakannya. Kita lah yang seringkali membuatnya rumit. Mengacak-acak benang yang sudah teratur. Ini tentang cerita anak manusia yang beraneka warna. Dengan tingkat lika-liku kesulitan yang berbeda. Beban yang beragam. Dan ending yang berupa-rupa. Adalah seorang teman. Dia hidup di keluarga yang kehilangan fungsinya. Orang tuanya bercerai sejak ia kecil. Bagi kita yang tidak pernah merasakan hidup dalam keluarga seperti itu tentu tak terbayangkanya rasanya. Teman saya itu terus bergerak. Berbuat banyak hal. Bukan hanya untuknya, tapi juga ibunya yang membesarkan. Selama kuliah ia aktif berkegiatan kampus yang melelahkan tanpa menghasilkan. Walaupun pada akhirnya ia pilih jalan bisnis demi kemandirian. Itulah satu-satunya jalan yang memungkinkan agar dapur pribadi terus mengepul. Maklum, ibunya di kampung sana bukan konglomerat. Aktifis kampus itu memulai petualangan bisnisnya. Kini ia sudah menikah. Empat tahun lebih sudah ia lalui pernikahan itu. Tidak hanya terjun di bisnis ia menjadi pionir di antara kami. Untuk urusan nikah, ia juga yang pertama kali menjejakinya. Kini di tahun ketiganya, tak hadir juga seorang buah hati. Dua kali istrinya hamil. Dua kali juga keguguran. Kini, sang istri tengah hamil. Harap dan cemas pantas berbaur bercermin dari pengalaman yang sudah lalu. Di tengah ujian-ujian itu, teman saya tetap melangkah. Lulus dari kampus, ia merintis usaha di Jakarta. Sebuah pilihan kegiatan yang tidak biasa bagi kami lulusan kampus yang dicetak untuk jadi pekerja. Empat tahun sudah bisnis itu dijalananinya. Selama itu juga ia berpindah-pindah kantor. Sempat berkantor di bilangan emas kawasan Jakarta. Hingga akhirnya mengungsi dan berkantor numpang di rumah seorang kawan dengan perlengkapan kantor seadanya. Lalu pindah lagi ke sebuah lokasi baru. Tempat itu jauh dari kata wah. Kini tiga tahun sudah mereka berkantor di kantor baru itu. Bisnis mulai bergerak. Karyawan bertambah. Cash flow mulai positif. Walaupun tentu masih banyak kekhawatiran yang menggelayut. Omong-omong, teman saya itu juga sempat membuka beraneka usaha lainnya. Namun, semua itu terhenti di tengah jalan. Bangkrut. Kenang seorang teman yang ikut dengannya. Betapa usahanya itu tak akan bergerak tanpa sentuhan kesabaran. Bersamanya bisnis terus bertahan sekalipun pendapatan masih di bawah UMR. Sekualitas mereka, batin saya, mudah saja mereka jadi karyawan biasa. Penghasilan pun dipastikan jauh di atas perolehan dari bisnis sendiri yang sedang mereka jalani. Tapi bukan itu jalan yang dipilih. Toh di tengah kesulitan-kesulitan itu, teman saya itu tetap tersenyum. Melangkah pasti di tengah ketidakpastian yang berulangkali dihadapinya. Lahir dari keluarga yang terbelah. Besar dengan kesahajaan. Memilih jalur bisnis tanpa sokongan dana berlimpah. Jatuh bangun berulangkali dengan bisnisnya itu. Belum lagi, dua kali kehilangan calon buah hati. “Ah, itu tentu baru sedikit cerita yang kutahu darinya”.... Ini baru cerita dari seseorang. Tentu di luar sana sangat banyak yang lainnya. Saya, kamu, mereka, tentu juga punya banyak cerita. Dengan pahit, asin, asam, dan manis yang membalutnya. Dan kawan, aneka rasa kehidupan itu pun akan senantiasa ada, di tahun-tahun ke depan. Terus melangkah saja. Hingga disapa mati. Dan pertanggungjawaban kita di akhirat nanti.