12.30.2009

Fotografer Sok Tau

Kita tidak akan pernah tahu. Semua ini hanyalah penggalan demi penggalan yang selalu kita interpretasikan. Seolah-olah, kita tahu semuanya. Tentang yang ada di depan mata ataupun kejadian-demi kejadian “katanya”. Seperti ribuan fotografer yang turun ke jalan di tempat dan waktu yang sama. Semua membidik sesuka hati semua yang ada di ujung lensa. Tapi ribuan fotografer dengan kamera serupa itu selalu saja menghasilkan foto yang tidak sama. Itulah kita manusia. Berada pada momentum yang sama bukan berarti memaknai semua dengan cara dan perolehan yang sama. Seperti citra foto, slide per slide selalu berbeda. Angle bergeser satu mili meter saja bisa membedakan hasil karya. Terpaan cahaya matahari yang redup terang bergantian juga memantulkan kesan citra yang berbeda. Buka tutup diafragma dan cepat lambat rana kamera membuat karya foto berbeda-beda. Merasai hidup adalah merasai kerelatifan rasa. Memaknai hidup adalah membekukan kefleksibelan makna. Semua yang terlihat ini seperti nyata. Walaupun nyatanya lebih banyak pura-pura. Ombak bergelinjang di permukaan bukan berarti di dasar lautan tidak tenang. Permukaan air yang tenang bukan berarti tanpa gelombang di kedalaman. Senyum kawan bukan selalu berarti persahabatan. Marah kawan bukan berarti permusuhan. Karena kita manusia tidak pernah tahu apa yang nyata dan pura-pura. Itu hanya ada di kedalaman hati. Yang, sungguh, nyaris tidak berdasar. Jika saja saya atau kamu sama-sama memperoleh ‘sesuatu’ yang katanya anugerah dan kenikmatan, itu pun bisa jadi bukan begitu adanya. Toh nyata-nyata banyak yang terjerumus dalam anugerah-anugerah itu. Anugerah yang katanya indah itu pun selalu bermata dua. Ada hitam dan putih yang menyertainya. Dua tahun kulewati jalan yang sama dari rumah ke kantor. Namun, sepanjang itu juga akan selalu ada sensasi yang berbeda dari ratusan perjalanan itu. Seperti pagi tadi, ketika laju kendaraan lebih lambat dari biasanya. Aku bisa dengan leluasa melihat-lihat kanan kiri jalan dengan pergerakan yang berbeda. Lebih rinci lagi. Umpamanya keindahan jajaran rumah tua yang masih cantik bersolek di sepanjang Jalan Latuharhari Jakarta Pusat. Fakta yang sama di lintasan yang sama dalam dua tahun terakhir pun menjadi nampak berbeda. Kadang, kemacetan juga memberikan sisi terbaiknya. Ketika mobil terkunci di tengah jalan raya. Saat itu juga aku bisa lebih tahu detail muka dan menangkap sisi kemanusiaan penguna jalan lainnya yang berjubelan di bis-bis kota atau calon penumpang yang menumpuk di perempatan Casablanca-Sudirman. Ya, sisi kemanusiaan para pekerja ibukota yang ‘rela’ berjibaku dengan keruwetan Jakarta. Andai saja langkah ini bisa konstan menjejak perlahan jalan demi jalan. Pasti akan lebih banyak lagi cerita yang bisa ditangkap dan dicerna. Tentang bagaimana sabarnya seorang pembantu menggendong anak-anak majikan yang sudah minggat ke kantor subuh hari. Tentang tukang ojek yang dengan sabar berbanjar rapi di perempatan menunggu gilir jatah tarikan. Tentang kisah pedagang asongan di perempatan lampu merah yang bersuka cita ketika macet menjadi-jadi. Tapi nampaknya selama ini langkah ini memang tak bisa perlahan. Sehingga terlalu banyak keputusan yang diambil dalam ketergesaan. Sekalipun tahu, dalam laju tinggi, pepohonan dan jajaran rumah di kanan kiri jalan tidak jelas terlihat karena tercitra sekelebatan. Seperti milyaran fotografer yang ditebar Tuhan di bumiNya. Kita selalu hanya bisa menangkap keutuhan alam semesta dan kisah di dalamnya dalam penggalan-penggalan sederhana. Sekalipun kita tahu, yang tertangkap lensa kamera, bukanlah gambaran seutuhnya.