12.30.2009

Tidak Ada Tuhan

SubuhMu. Barisan orang tua itu seperti padi yang siap panen. Membungkuk karena tulang punggung tak lagi kokoh. Mereka baris berbanjar. Rapih. Plus kesantunan wajah dan tata krama, bungkuk itu terlihat lebih dalam lagi. Satu persatu bersalaman. Saling lempar senyum. Berbalas runduk penghormatan. Lalu pulang. **** Perjalanan dari masjid ke rumah ini tak lebih dari lima menit. Dengan bermotor, udara lebih terasa. Dinginnya menyejukkan. Segarnya menggairahkan. Gabungan keduanya membangkitkan. ini hari ke-20 Ramadhan. Di langit yang tak berselimut, bintang berantakan. Tapi indah. Karena keberantakannya seperti manik-manik kemerlap yang terserak. Dengan bulan yang menyemangka, makin lebay saja langit pagi ini. Jalan masih sangat hening. Deru motor ini merajai bisingnya pagi. Singungan roda dan jalan memerawani udara. Debu berterbangan. Asap knalpot membuatnya semakin tidak perawan lagi. Tuhan, subuhMu syahdu. Kami tunggu mega memerah di ujung timur sana. Sambil menunggu itu, kami sadar, waktu kami sangat sesak untuki bisa hening menelanjangi diri. Tentang kealpaan seharian kemarin. Juga, rencana panjang hari ini. Perlahan langit seperti tersipu dengan kemerahannya.Inilah waktunya kembali bergerak. Berputar lagi seperti rotasi bumi yang tak kenal henti Mobil satu persatu keluar kandang. Motor dilepas dari tambatannya. Jalan mulai sesak. Udara kian pekak. Pikiran mengencang. Otot mengenjan. Nafas berburu dengan laju kendaraan. Tuhan, subuhMu baru berlalu. SiangMu gagah berdiri diujung sana. Ia sangat siap sambut kami. Tapi Tuhan, kami takut. SiangMu hanya petaka. Ketika harta, tahta, dan wanita menjadi raja. Lalu Engkau Tuhan, tidak ada lagi. MenemuiMu bersama barisan orang tua di subuhMu pun tinggal nostalgia. Karena siang nanti Engkau terusir kesibukan kami.