12.30.2009

Kata Om-nya Spiderman

Ini tentang orang biasa, yang realistis dengan akhiratnya. Puluhan tahun lalu, jabatan hakim ditawarkan kepadanya. Tapi ia menolak. Ujian hakim yang harus dilaluinya lebih dulu pun sebenarnya akan mudah saja. Keengganan itu pun berujung pada jalur karirnya yang jalan di tempat. Sebagai panitera, ia tentunya merupakan orang terdekat ketua pengadilan. Karena itu secara struktural tidak ada lagi posisi lain yang lebih tinggi dari itu selain menjadi hakim lalu ketua pengadilan. "Saya takut buat dosa dengan jabatan itu", katanya. Walhasil, ia pun tidak pernah 'naik kelas' dan berpindah dari satu pengadilan ke pengadilan lainnya di Jakarta. Namun, sistem memang mengharuskan dia naik kelas. Mau tidak mau ia pun ikut tes hakim. Diterima. Tidak ada ingar bingar setelah pelantikan itu. Namun yang pasti, kekhawatiran berbuat dosa akibat jabatannya masih tetap ada. Lalu ia masih seperti biasa. Naik motor sederhana ke kantornya saban pagi. Dan melanjutkan aktifitas sosialnya di luar kantor dengan mengajar di sebuah sekolah tanpa digaji. Bisa jadi selama menjadi hakim dia pernah berbuat salah. Namun seingat dirinya, tidak ada sesuap pun uang suap masuk ke koceknya dan disantap anggota keluarganya. Bagi orang itu, jabatan adalah 'musibah'. Karena itu tak perlu rasanya dirayakan dengan ingar bingar keduniawian yang dibalut nama keakhiratan, yaitu: syukuran. Jabatan adalah amanah. Wewenang mengandung fitnah. Kekuasaan membuka kesombongan. Penghasilan ekstra berarti harus ada derma berlebih. Sulit rasanya melupakan bapak itu. Sesulit melihat kenyataan bahwa masih ada yang bisa berpesta di tengah rakyat yang menderita. Dari Facebook seseorang mengetuk: "Sementara musibah terjadi di Padang, ratusan anggota dewan yang baru saja dilantik berpesta di Senayan". Sebuah pesta perayaan atas sulitnya menduduki kursi dewan. Kursi dewan itu harganya memang sangat mahal. Mulai dari ratusan juta hingga milyaran rupiah. Belum lagi, untuk kursi itu mereka harus keluarkan ekstra tenaga dan pikiran selama berbulan-bulan. Itu juga alasannya banyak caleg stress karena kalah berkompetisi. Dengan semua pengorbanan itu, rasanya pantas ‘kemenangan’ terpilih menjadi anggota dewan dirayakan. Tidak sedikit dari kita yang senang bukan kepalang dapat promosi jabatan di kantor. Tanpa komando, ucapan selamat lalu berdatangan. Kita pun tersenyum senang, minimal dalam hati, karena kerja keras dan prestasi kerja kita selama ini dihargai. Gaji dan fasilitas lebih baik tentu jadi sebagian alasan di balik semua selebrasi itu. Tapi benarkah jabatan dan kedudukan lebih baik itu pantas dirayakan? Bukankah di baliknya tersimpan segunung tanggung-jawab? Banyak yang bilang harta dan tahta bisa membeli apa saja. Dengan pendapatan wah dan jabatan mentereng, Anto yang tadinya perjaka ‘tidak laku’ bisa mendadak jadi high quality jomblo buruan para perempuan. Salah-salah makin bijaksana, Anto bisa saja jadi playboy yang bisa dengan mudahnya mempermainkan wanita. Sebelum menduduki jabatan baru, suara Ferdi nyaris ‘tak terdengar’. Dengan jabatan penting yang baru didudukinya, suara Ferdi jadi bergigi. Alih-alih makin bijaksana, dengan jabatan yang baru, Ferdi bisa tergoda menjadi pemimpin yang se-enaknya. Jabatan lebih tinggi juga meminta kita mengalokasikan lebih banyak waktu. Itu berarti akan banyak waktu di luar pekerjaan yang tersita. Waktu bersama keluarga dan teman pun tak seluang sebelumnya. Alih-alih kualitas hubungan keluarga dan pertemanan meningkat, si empunya jabatan justru bisa semakin jauh dari orang-orang terdekatnya itu. Saya jadi teringat pesan paman Spiderman saat ia tahu keponakannya punya kekuatan istimewa: “Great power brings great responsibility”. Kekuatan dalam bentuk harta dan tahta itu bukan saja dimintai pertanggungjawabannya di dunia ini, namun lebih dari itu, di akhirat nanti. Jadi, masih pantaskah harta dan tahta disambut senyuman?