9.05.2012

My baby is reading!

She is 17 months old and she can reads!


4.13.2012

Mulianya Ibu Rumah Tangga


dari panggung politik AS ke rumah sendiri

Elok sekali melihat panggung politik dan wajah demokrasi Amerika Serikat. Di tengah persaingan menuju kursi presiden AS periode mendatang, Obama ‘membela’ calon rival politiknya dari Partai Republik dalam perebutan kursi Presiden mendatang, Mitt Romney. Apa pasal?

4.11.2012

Saya Membayangkan

Saya membayangkan, pemimpin-pemimpin yang tetap hidup sederhana sekalipun pendapatan tidak lagi sederhana.

Saya membayangkan, pemimpin-pemimpin yang berangkat kerja dengan sepeda motor mereka.

4.10.2012

Siapa sebenarnya yang belajar?


Orang tua lah yang mengajarkan dan mendidik anak-anak. Itulah anggapan yang umum diyakini banyak orang. Benarkah?

(besar kemungkinan) Semua orang tua berharap anak mereka kelak sukses dunia dan akhirat. Sebut saja beberapa ukuran dasar ‘sukses’ bagi orang tua atas anak-anaknya: berakhlak mulia, berprestasi di dalam dan luar sekolah, memiliki karier yang cemerlang, berhasil membina rumah tangga dan selamat di akhirat.

Jelas, menyiapkan anak untuk mencapai beberapa ukuran umum tentang sukses tersebut tidaklah mudah. 
Meminta anak untuk rajin belajar saja tidaklah cukup. Orang tua perlu memberikan contoh bagaimana bekerja dengan rajin itu. 
Meminta anak untuk shalat dengan rajin dan sesuai waktunya itu juga tidak cukup. Orang tua perlu lebih dulu menunaikan shalat yang juga sesuai waktu. 


Meminta anak untuk berbicara santun dan berpekerti luhur jelas juga tidak cukup. Orang tua perlu menjadi teladan dengan berbicara santun dan berpekerti luhur.

Singkatnya, orang tua harus menjadi contoh yang baik buat anak-anaknya.

Buang jauh-jauh harapan bahwa anak akan sukses jika sang anak belum melihat ‘cahaya’ sukses itu dari orang tuanya sendiri. Orang tua perlu sukses terlebih dahulu karena cermin pertama anak dalam hidupnya adalah orang tuanya sendiri.

Menjadi ayah dalam satu tahun satu bulan terakhir ini mengajarkan saya banyak hal. Saya semakin berhati-hati memilih kata-kata ketika berbicara dan memilih perilaku yang tepat ketika berinteraksi. Terutama, ketika anak melihat dan mendengar langsung tutur kata dan perilaku saya sebagai orang tua. Anak seperti ‘supervisor’ pribadi saya.

Dia memang belum banyak tahu tentang baik-buruk dan benar-salah. Karena itu, saya lah yang mau tidak mau harus bisa menggambarkannya secara nyata tentang apa yang baik atau benar dan buruk atau salah. Hanya dengan memberikan contoh anak saya dapat memahaminya.

Dalam ‘ketidakberdayaan’ anak saya, ia sejatinya sedang mengajarkan saya untuk menjadi orang tua yang ‘sepatutnya’. Alih-alih saya mengajarkannya, anak saya lah yang ternyata sedang mendidik saya. Wallahu a'lam.


Belajar mengaji bersama anak. (09/04/2012)

2.25.2012

Diplomat total, tinjauan ulang diplomasi total

gambar pinjam dari www.getentrepreneurial.com


Revolusi teknologi komunikasi dan informasi telah mengubah tata kelola kehidupan saat ini dengan sangat dramatis. Percepatan pertumbuhan, perkembangan, dan penggunaannya pun semakin meningkat dari tahun ke tahun. Revolusi komunikasi dan informasi pun pada akhirnya mendorong terjadinya revolusi dalam berdiplomasi.

Pengguna internet dalam 10 tahun terakhir tumbuh lebih dari lima kali lipat. Pada tahun 2000 pengguna internet di dunia baru 360 juta orang. Tahun ini, pengguna internet diperkirakan telah menembus angka 2 milyar orang.

Jejaring sosial via internet seperti facebook dan twitter tumbuh pesat dan digandrungi banyak orang di dunia. Semua fenomena tersebut merupakan bukti nyata bahwa inilah masanya pola tata kehidupan dan interaksi baru dengan asas: kecepatan, ketepatan, dan kesederhanaan.

Internet pun tidak bisa dipungkiri memiliki dampak luar biasa terhadap pola prilaku masyarakat dan proses pengambilan kebijakan. Revolusi sosial politik di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara yang terkenal dengan sebutan Arab Spring merupakan salah satu bukti di antaranya.

Jauh sebelum Arab Spring, sebut juga fenomena BlackBerry-dan kampanye Obama, Wikileaks terkait dokumen rahasia AS di Afganistan, serangan Israel terhadap kapal kemanusiaan Mavi Marmara, hingga kasus Ariel-Luna-Cut Tari dan Keong Racun Shinta-Jo-jo.

Pantas jika berbagai perkembangan yang dinilai kontrapoduktif terhadap peradaban internet pun selalu menyita perhatian banyak orang dan dinilai kontroversial. Misalnya pelarangan Facebook di Iran saat kampanye pemilihan presiden tahun lalu, pelarangan Google di Cina, hingga pelarangan Blackberry di Arab Saudi dan Uni Emirat Arab yang kabarnya juga sedang dipelajari pemberlakuannya di Indonesia.

Semua itu menguatkan bukti kedigdayaan internet sebagai medium komunikasi dan informasi yang berpengaruh. Berbagai inovasi dan kemudahan yang ada di dalamnya membuat dunia tidak saja dilipat, bahkan dikantongi. Kedigdayaan dunia maya telah meruntuhkan batas-batas negara.

Tidak saja di dunia maya batas negara seperti tiada. Dalam dunia non-maya pun batas-batas negara semu walaupun sejatinya masih ada. Manusia kini dapat dengan mudah bergerak dan berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya dalam waktu singkat tanpa peduli jarak. Untuk itu, revolusi transportasi massal berperan besar.

Mengimprovisasi Diplomasi Total

Di tengah kondisi tersebut, muncul gagasan diplomasi total. Konsep dasar diplomasi total pernah disampaikan Dr. Mohammad Hatta pada periode awal kemerdekaan. Namun faktanya, diplomasi total baru kembali semarak dibicarakan ketika Dr. Noer Hassan Wirajuda berulangkali mengampanyekannya saat memimpin Kementrian Luar Negeri RI.

Diplomasi total menegaskan bahwa saat ini, diplomat bukan lagi aktor tunggal yang berjuang sendirian di garda depan untuk memperjuangkan kepentingan nasional di forum bilateral, regional maupun internasional. Diplomasi kini telah dimiliki semua elemen bangsa, mulai dari pemerintah, swasta, kelompok, hingga individu. Konsep tersebut muncul seiring bergesernya pemahaman tata pergaulan di dunia yang awalnya didominasi negara menjadi tata pergaulan yang multi aktor.

Diplomasi total diibaratkan permainan sepakbola bergaya Total Football. Dalam gaya permainan itu, semua pemain dituntut untuk mampu bermulti peran. Setiap pemain harus dapat bertahan dan menyerang dengan sama baiknya. Dalam konteks hidup berkebangsaan, semua elemen bangsa perlu ikut serta bahu membahu dalam memperjuangkan kepentingan nasional dalam panggung diplomasi.

Kondisi tersebut sepintas lalu terlihat seperti memudahkan peran diplomat dalam berdiplomasi di forum internasional. Namun, di tengah gelombang pengambilan peran diplomasi oleh semua elemen bangsa tersebut, muncul sebuah pertanyaan besar. ”Di manakah signifikansi diplomat ketika semua pihak bisa berdiplomasi?”

Untuk itu pantas rasanya jika kita menengok lagi aturan hukum internasional yang menjadi rujukan penting semua diplomat, yaitu Konvensi Wina 1961. Pasal 3 konvensi tersebut menyebutkan lima fungsi misi diplomatik di luar negeri, yaitu: representing, protecting, negotiating, reporting, dan promoting.

Setiap individu itu diplomat

Secara kuantitatif jumlah diplomat Indonesia jelas sangat tidak sebanding dengan jumlah penduduk yang diwakilinya. Jumlah diplomat saat ini sekitar 1500 orang. Bandingkan dengan jumlah rakyat Indonesia yang telah mencapai 237 juta jiwa.

Saat ini, WNI yang berada di luar negeri telah menembus angka 3 juta jiwa. Dapat dibayangkan agregat potensi yang dimiliki Indonesia dari WNI di luar negeri sebanyak itu. Maklum, dalam konsep diplomasi total, setiap individu dapat melakukan fungsi diplomasi.

Publik dunia bisa melihat dan menilai Indonesia dari sosok warga indonesia orang per orang yang mereka temui, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Citra yang muncul dari situ membentuk citra bangsa Indonesia secara keseluruhan. Kondisi tersebut memungkinkan setiap warga negara Indonesia bisa melakukan fungsi representing dan promoting.

Peningkatan potensi peran diplomasi setaip individu itulah yang pada gilirannya dapat menggerus profesi diplomat. Itu dapat terjadi ketika diplomat gagal meningkatkan kualitas pribadi hingga titik tertingginya.

Ketika teknologi komunikasi dan informasi tidak semaju sekarang, fungsi reporting dari seorang diplomat sangat bisa diandalkan. Namun, ketika dunia seperti menyempit seperti saat ini, fungsi reporting pun dengan sendirinya tergerus. Kantor pusat bisa dengan mudah melihat, membaca, dan menganalisa tantangan dan potensi negara akreditasi cukup dari balik layar televisi, radio siarang internasional, ataupun internet.

Kondisi tersebut membuka tantangan baru bagi para diplomat untuk dapat melaporkan sebuah peristiwa dan analisa lebih dari yang terlihat di media massa. Diplomat harus bisa masuk lebih dalam dan lebih dekat ke persoalan yang mengemuka. Walhasil, laporan yang masuk ke pusat pun tidak sebatas copy-paste dari media massa di negara akreditasi.

Diplomat playmaker diplomasi

Konsep diplomasi total menyiratkan terdegradasinya peran diplomat. Representing, reporting, promoting, dan protecting secara de jure memang masih di tangan diplomat. Namun secara de facto diplomat jelas tidak lagi sendirian.

Hanya negotiating yang fungsinya relatif utuh berada di tangan diplomat. Keutuhan fungsi negotiating merupakan ilustrasi bahwa hanya fungsi diplomasi yang bersifat otoritatif dan memerlukan profesionalitas yang masih dikuasai diplomat. Karena jelas, persyaratan tersebut tidak dimiliki sebagian besar pelaku diplomasi total lainnya.

Keterdegradasian peran dan fungsi diplomat jika tidak disikapi dengan tepat dan jitu merupakan ancaman sekaligus tantangan. Itulah mengapa seorang diplomat perlu dapat mengambil peran sentral dan strategis dalam panggung diplomasi total.

Kegagalan mengambil peran pada gilirannya akan menggeser diplomat ke tepian. Hingga pada titik terekstrimnya, rakyat tidak lagi merasa perlu diplomat. Karena itulah perlu kembali dirumuskan dan diidentifikasi peran diplomat di tengah gelanggang diplomasi total. Sebut saja konsep itu, Diplomat Total.

Dalam konsep tersebut, diplomat harus dapat meredefinisi dan mereposisi diri di tengah pola perilaku kehidupan di dunia yang sudah sangat berubah. Dengan identitas diri yang aktual, diplomat diharapkan bisa mengambil posisi dan peran yang tepat sebagai aparatur negara dan abdi rakyat.

Diplomat juga harus memiliki visi jauh ke depan sehingga bisa membekali diri selangkah atau bahkan beberapa langkah lebih maju daripada orang kebanyakan. Melek teknologi komunikasi dan informasi adalah sebuah keharusan selain keterampilan mendasar lainnya seperti, menulis, fotografi dan videografi, public speaking, bergaul, dan kekayaan berbahasa asing.

Dalam konsep diplomasi total, seorang diplomat perlu mampu menjadi playmaker. Sebagai ilustrasi, dalam ranah sepakbola, peran tersebut berhasil dilakukan Johan Cruyff, kapten tim Belanda di masa keemasan Total Football tahun 70-an. Atau, diplomat dapat berperan sebagai Rinus Michels, pelatih jenius Belanda yang menemukan konsep permainan Total Football.

Seperti halnya pemain dalam konsep Total Football, seorang diplomat dituntut untuk dapat berperan sama baiknya sebagai kiper, bek, libero, sayap, pemain tengah, ataupun striker. Dengan begitu,  diplomat dengan sendirinya harus memiliki wawasan luas, keilmuan dan pengetahuan yang lintas sektor, keterampilan yang kaya dan budi pekerti yang luhur.

Ada sebutan lawas, bahwa diplomat itu hanyalah ”master of none”. Itulah hasil simplifikasi untuk menggambarkan bahwa hampir sebagian besar diplomat tahu banyak hal, namun tidak sampai menjadi ahli.

Setidaknya ke depan, diplomat dapat perlahan mengikis sebutan kurang sedap itu dan menggantinya dengan sebutan yang lebih membanggakan. Bukan mustahil sebutan itu berganti menjadi ”master of many”. Itulah mengapa bukan hanya diplomasi yang perlu total, namun juga diplomatnya. Tidak mudah memang, namun jelas, itu bukan tidak mungkin.

2.09.2012

It is not my lucky number

ilustration by me

I don’t believe in lucky number. But this number keeps telling me that it is my lucky number. Despite of its stubbornness to keep telling me that, I insist to be firm that I really don’t believe in lucky number. Just leave it to Mr. President Susilo Bambang Yudhoyono who silently declares “Nine” as his lucky number.

Leave Mr President and back to my story.

Seven. That is the number I meant.

I like the number since I was a kid. Seven is my favorite football t-shirts number. I used to wear that t-shirt. When I was a teenager, David Beckham showed up. He was later known of having the “Seven” number on his Manchester United official t-shirt. Well, I was one of his fans too. Not because of the number, but because of his football skill.

Then, I attended university. At that time (2000-2005), I was very enthusiastic in film. I had watched so many movies. Until, I knew this man. Brad Pitt. One of his remarkable movies was “Seven”! It wasn’t because of the Brad Pitt factor that I liked the movie. But indeed, I thought the movie was really damn good.

Then, as Gmail becoming a global trend, I was persuaded by one of my colleagues at the office  to have a Gmail account. So, I made it. My first attempt was to get my full name as my account address. Unfortunately, someone had used it. So, I tried another shot.

I wasn’t clear enough why I picked this number as a part of my e-mail address. So, it is now my Gmail account: ismail.fahmi7@gmail.com. Flip flop!

Then I met this beautiful girl, Arum Wahyuningtias. I met her for the first time at Plaza Semanggi, Jakarta, Indonesia on 25 April 2009. Lets be focus on the date. It was 25. Two plus five equals “Seven”!

We married a year later on 29 May 2010. Again, let be more focus on the date. Nine minus two equals “Seven”!

We both had waited for the delivery. Yup, a baby to come! After nine months of waiting, the baby was born on 7 March 2011. I don’t necessarily need to remind you where the “Seven” is coming.

Just a few days ago, I received good news. I got a scholarship to pursue my Master Degree in Australia. And the date of the announcement was on 7 February 2012. So, the date was…..?

Fascinatingly, my IELTS test for the scholarship was held on 7 January 2012. I was interviewed at room number 7. And, my order was 7th.

Yesterday, I told some of those stories to two of my friends at the office. One of them said that “Seven” in Javanese is “Pitu”. Javanese believes that “Pitu” is an abbreviation from “Pitulungan”, meaning “Help or assistance” in English. Well, that is a new insight for me.

Whatever it is, I still don’t believe with ‘lucky number’. But, I do believe in starting, doing, persisting and praying to God on every will we have. Those are my lucky codes of conduct.

2.03.2012

Pandangan Menlu tentang Diplomasi dan TIK


Berikut ini merupakan beberapa hal yang disampaikan oleh Menteri Luar Negeri RI, Marty Natalegawa pada talkshow, ”Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk Kemlu yang lebih baik” pada hari Rabu, 1 Februari 2012 di Ruang Nusantara, Kemlu.

Secara umum, Menlu memaparkan pengaruh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi terhadap profesi diplomat dan pemanfaatannya. Menurutnya, diplomat perlu pandai mencari informasi yang relevan. Ide Menlu tersebut disampaikan berdasarkan pemahaman penulis.

  1. Informasi merupakan bahan baku utama kebijakan
Kebijakan yang tepat memang hanya akan dihasilkan jika pengambil kebijakan memiliki informasi yang tidak hanya akurat namun juga relevan. Karena itu, diplomat harus dapat merekam informasi seakurat mungkin dan memilahnya sesuai kebutuhan. Dengan begitu, informasi akan menjadi bahan baku penyusunan kebijakan yang reliable.

  1. Paradox of plenty
Paradox of plenty merupakan keadaan ketika keberlebihan materi justru membawa banyak persoalan. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) mengakibatkan setiap orang yang terhubung internet mengalami paradox of plenty. Informasi membanjir. Karena internet nyaris dapat menyediakan setiap informasi yang kita perlukan. Di tengah kondisi tersebut, produktivitas terjadi ketika diplomat dapat memilih informasi yang tersedia sesuai kebutuhan.

  1. Background noise
Sesuai dengan namanya, background noise merupakan informasi yang hanya ramai dan gaduh namun   tidak diperlukan. Dalam acara talkshow misalnya, informasi yang disampaikan pemateri lah yang diperlukan. Sementara bunyi berisik orang keluar masuk ruangan, suara batuk dan dering telepon seluler dapat dikategorikan sebagai background noise.

Untuk mengatasi background noise, diplomat perlu konsentrasi dan fokus pada persoalan inti. Dengan begitu, diplomat tidak mudah terombang-ambing persoalan-persoalan yang tidak relevan. Maka, abaikan background noise!

  1. Diplomat dengan kemampuan assessment
Idealnya, kualitas pekerjaan bergantung pada sistem dan tidak bergantung kepada individu. Namun, sistem yang baik tidak akan berjalan tanpa dijalankan oleh individu yang capable. Kemampuan memberikan penilaian terhadap sebuah persoalan merupakan salah satu  kemampuan yang sangat diperlukan.

Jika diplomat paling muda sudah dapat memberikan penilaian dengan baik terhadap sebuah persoalan, maka diplomat senior tinggal memberikan nilai tambah dengan cukup memberikan sedikit koreksi, polesan dan penajaman.

  1. Transparansi vs kerahasiaan
Ini berkaitan erat dengan kemampuan memberikan penilaian. Diplomat harus mampu memilih dan memilah antara informasi yang terbuka dan rahasia. Kadangkala, banyak informasi yang perlu ditutupi agar upaya diplomasi berhasil. Biasanya, akan banyak hujatan ketika keran informasi ditutup. Hujatan yang umum muncul diantaranya adalah, pemerintah dinilai tidak berbuat apa-apa dan lamban. Menlu mencontohkan proses pembebasan ABK kapal MV Sinar Kudus dari pembajakan perompak Somalia di awal tahun 2011.


Pada akhirnya, diplomat diharapkan dapat dengan mudah menghasilkan dan menyampaikan informasi yang:
·      dapat dipercaya (credible),
·      tepat waktu (timely),
·      mudah dipahami (easy to digest),
·      dan tidak menggunakan bahasa yang birokratis (less bureaucratic words)

2.02.2012

Optimalisasi Diplomasi via TIK

photo: www.nicelylaptops.blogspot.com

Pemahaman yang sudah sangat populer dan karenanya terkesan klasik. Bahwa, Indonesia tidak lagi mendayung di antara dua karang seperti gagasan yang muncul di tengah suasana perang dingin. Saat ini, diplomasi dalam arti luasnya, melibatkan semakin banyak aktor. 


Diplomasi pun menjadi pekerjaan yang semakin dinamis, kompleks dan rumit. Apalagi, kondisi tersebut terjadi di tengah perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang demikian gesit dan progressif.

Portal berita berkembang biak begitu cepat. E-mail, media sosial dan blog mewabah pesat. Wajar jika nyaris tidak ada setiap jengkal peristiwa di muka bumi ini yang luput dari pantauan.

Sebagai mesin inti pelaku diplomasi, Kementerian Luar Negeri RI (Kemlu) menyadari dinamika tersebut. Penguasaan dan pemanfaatan TI dan komunikasi (TIK) lalu dibidik sebagai bagian penting dari strategi diplomasi.

Pemahaman itulah yang mendorong diselenggarakannya talkshow, ”Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk Kemlu yang lebih baik” pada hari Rabu, 1 Februari 2012 di Ruang Nusantara, Kemlu.

1.16.2012

Sederhana dalam Kerumitan

photo:  klepto dari www.buzzle.com
Setiap kita rumit namun sederhana. Kita menyandang peran beragam dalam saat bersamaan. 

Saya misalnya, adalah seorang anak dari Bapak Abdul Wahab Salim dan Ibu Hindun Sopiatun; suami dari Arum Wahyuningtias; ayah dari Aqila Qolbi Kamila; dan menantu dari Bapak Sutardjo dan Ibu Yeyet Sariyati.

Saya juga saudara kandung kakak dan adik saya; sahabat kenalan dekat; teman di berbagai situasi dan keadaan; pegawai di sebuah instansi pemerintahan; rakyat dari sebuah negara bernama Indonesia; warga dari RW 12 Komplek Masnaga Bintara Jaya Bekasi; dan juga tetangga bagi mereka yang kebetulan tinggal bersebelahan rumah dengan saya.

Seperti halnya saya, kita semua memiliki peran beragam yang berbeda-beda. Lalu, membentuk masing-masing kita menjadi sosok rumit, unik namun tetap sederhana. Karena bagaimanapun, kita hanya manusia.

Kita dilahirkan ke dunia dengan sangat sederhana. Lalu mati juga dengan cara yang sangat sederhana. Di antara hidup dan mati itu, manusia menjalankan sejumlah peran yang sederhana.

Kita dibekaliNya jasad, ruh, akal dan hati, untuk menjalankan semua peran yang dipercayakan. Kegagalan dalam menjalankan setiap penggalan peran merupakan kewajaran. Karena itu merupakan salah satu bukti kesederhanaan manusia yang memiliki keterbatasan. Yang darinya, manusia sempurna dalam ketidaksempurnaannya. Wallahu’alam.

1.12.2012

Ulang Tahun itu Duka


Usia 30 tahun itu cukup tua. Dan hari ini, saya seumur itu. Ulang tahun ini sama saja dengan peringatan bahwa kematian sudah semakin dekat.

Saya selalu berpatokan pada usia Nabi Muhammad SAW yang ’hanya’ 63 tahun. Usia tersebut relatif muda jika dibandingkan rata-rata usia harapan hidup orang Indonesia yang saat ini mencapai sekitar 70 tahun.

Kata Nabi, ”umur umatku di antara 60 ke 70 tahun, tidak banyak yang melebihi itu.”

Mematok usia nabi sebagai alarm hidup di dunia mungkin terlalu optimis. Apalagi, bersandar ke usia harapan hidup orang Indonesia.

Untungnya, optimisme itu bisa diredam alarm lainnya. Bahwa, sudah cukup banyak teman sebaya yang wafat lebih dulu. Dengan begitu, saya tidak pantas pongah bisa berusia sepanjang Rasulullah. Kenyataannya, kematian memang bisa datang kapan saja.

Wajar rasanya kalau usia yang ’bertambah’ ini tidak layak disambut suka cita. Apalagi, kalau setahun terakhir belum dimanfaatkan untuk semakin dekat kepada-Nya. Wallahua'lam.

1.11.2012

Tipe-tipe Facebooker

Ilustrasi: Me

Ini tulisan kedua saya tentang Facebook. Kali ini, tentang tipe-tipe Facebooker. Kalau merasa, saya harap jangan tersinggung. Apalagi, kita sama-sama masuk ke dalam kategori tipe yang disebut. Tulisan ini bacaan tepat bagi yang tidak suka baca karya ilmiah :).

  1. Alayer
Facebooker jenis ini gemar menggunakan kode-kode bahasa, yang bagi sebagian kalangan, sangat sulit dimengerti. Tingkat kreativitas merangkai kata mereka sangat tinggi. Facebook sepertinya jadi sarana efektif penyaluran bakat dan kecerdasan linguistik mereka. Biasanya, facebooker jenis ini berusia muda (baca: abg) dan memiliki nama profil yang tidak sesuai akte kelahiran. Atau, apa karena belum punya KTP?

  1. Spiritualist
Facebooker jenis ini selalu mengeluarkan petuah-petuah bijak. Biasanya, pesan-pesan yang disampaikan disarikan atau diambil dari ajaran agama yang dianutnya. Beruntung, tidak semua Facebooker berjenis ini. Karena, kalau semuanya tipe spiritualist, siapa yang didakwahi?

  1. Galauer
Facebooker jenis ini menjadikan wall-nya layaknya sahabat terpercaya, pasangan hidup, psikiater atau psikolog. Facebook seakan-akan jadi sosok bernyawa yang bisa mendengarkan keluh kesah dan hiruk pikuk hidup yang dijalaninya. Walaupun sepertinya, ia hanya sedang butuh sedikit ruang, pengertian dan perhatian.

  1. Motivator
Facebooker jenis ini biasanya selalu memulai hari dengan status-status yang menyemangati. Kisah sukses para motivator nampaknya meninggalkan kesan tersendiri bagi para faceebooker ini. Salam super.
  
  1. Trader
Facebooker jenis ini menyulap wall Facebook nya menjadi gerai toko. Semua update berisi promo, promo dan promo. Tiada hari dan update-an tanpa berdagang. Seperti kata pepatah lama, “Status update is money.” Kalo berminat, balas ke Inbox aja ya. Begitu katanya.

  1. News Maker
Facebooker jenis ini paling aktif dan pandai bikin update yang bisa menarik perhatian. Biasanya, mereka gemar mencari berita, informasi, isu dan gosip yang bisa menimbulkan pro kontra seru. Penting atau tidaknya isu yang diangkat bukan persoalan. Yang terpenting, update yang dibuat bisa bikin ramai suasana. Minimal, komentar dan like yang banyak.

  1. Updater
Facebooker jenis ini meramaikan wall nya dengan info-info terbaru yang punya nilai berita. Entah itu karena nilai kebaruannya, keunikannya, keanehannya atau kespektakulerannya. Facebooker jenis ini selalu memastikan para friends untuk terus keep up dated dengan perkembangan dunia.

  1. Observer
Facebooker jenis ini suka mengamati apapun yang terjadi di Facebook. Bagaimana kabar teman-temannya? Apa kesibukan mereka? Apa yang menjadi kegelisahan mereka? Facebooker jenis inilah sosiolog dunia maya. Ciri-cirinya, jarang update status, tapi selalu tahu semua cerita teman-teman Facebooknya.

  1. Commentator
Facebooker jenis ini sangat gemar berkomentar di mana-mana. Tapi, setelah dicermati, teryata dia sendiri nyaris tidak pernah meng-update apapun di wall-nya. Dalam dunia nyata, orang ini mungkin gemar silaturahmi. Walaupun, rumahnya sendiri malah jarang dikunjungi.

  1. Exhibitioner
Facebooker jenis ini layak punya acara pameran off-air sendiri. Selalu ada yang bisa diperlihatkannya di wall. Walaupun, kadang yang ditampilkan itu sama sekali tidak ada urusannya dengan urusan orang lain. Kecuali hanya mengundang penyakit hati: iri. Misalnya, foto terbaru pelesiran, makanan lezat yang baru disantap dan gadget terkini yang baru dibeli.

  1. Reporter
Facebooker jenis ini memang mirip sekali dengan reporter. Dia betul-betul paham prinsip 5 W 1 H. What, who, where, when, why dan how. Istimewanya, tidak hanya paham, dia juga menjalankannya. Pantas, kalau update yang dibuat selalu memiliki nilai-nilai laporan. Misalnya, ”baru aja lari pagi di Senayan. Segerrrr.....”

  1. Philosopher
Facebooker jenis ini seringkali mengeluarkan update yang bisa bikin kening para friends mengernyit dalam. Kadang, update-an Facebooker jenis ini bisa merusak suasana batin yang sedang riang menjadi begitu, soooo..... serius. Pantas kalau update yang dibuat berpotensi merusak suasana liburan.

  1. Joker
Facebooker jenis ini merenovasi wall-nya jadi panggung pertunjukkan lawak. Sepertinya, ia memang berbakat menjadi stand-up comedian. Bisa bicara sendirian (di wall nya) dan membuat orang tertawa terpingkal-pingkal. Sebagai catatan, tidak semua Facebooker jenis ini bisa membuat ‘karya lawaknya’ sendiri. Ada juga yang melawak dengan modal copy paste dari joker yang sebenarnya. Tak apalah. Namanya juga usaha.

1.10.2012

Rukun Facebook ada lima

logo Facebook dengan dua siluet perempuan sedang menggunakan laptop.
photo: http://www.telegraph.co.uk

Tulisan ini sedikit saja tentang Facebook. Beberapa pemikiran yang coba saya sederhanakan. Sebagian di antaranya berdasarkan ilmu sekolahan dan kuliahan. Sebagian lainnya dari pengalaman. Membaca ini bisa jadi terapi untuk diri sendiri. Atau juga, cerminan untuk pembaca sekalian.

  1. Curhatlah pada orang yang tepat
Bukan satu dua kali ada yang curhat di Facebook via status, notes, foto atau video. Mungkin yang bersangkutan melakukan itu untuk pelepasan emosi, amarah atau rasa galau. Teorinya, itu salah satu bentuk katarsis. Sayangnya, curhatan itu jadi tontonan gratis banyak orang. Bukan hanya teman dekat yang mengerti konteks persoalannya, namun juga orang-orang yang sama sekali enggak tahu juntrungannya. Kalau sudah begini, pesan curhat itu bisa jadi santapan empuk pergunjingan. Sayangnya, cara ini juga cenderung tidak membantu penyelesaian persoalan.

  1. Berpikir seribu kali untuk posting apapun
Mikir seribu kali untuk setiap postingan mungkin terlalu alay bin lebay. Paling tidak, cobalah kita berpikir berulang kali untuk setiap postingan yang dibuat. Pikirkan apakah pesan itu ada manfaatnya buat banyak orang? Apa dampaknya? Apakah teman-teman kita pantas membacanya? Siapa saja yang pantas tahu? Selalu ingat, teman kita di Facebook beragam jenisnya. Mulai dari yang berhati malaikat sampai berhati sorga (lho, apa bedanya?).

  1. Facebook itu cermin
Maksudnya, tentu bukan cermin untuk ngecek jerawat. Dulu ada pepatah, “you are what you read”. Sekarang, pepatah itu bisa digubah jadi, “you are what your status is”.

Facebook ibarat cermin. Via Facebook seseorang bisa menilai orang lain cukup dengan membaca dan melihat semua postingannya. Orang yang gemar berdoa ada kemungkinan memang orang itu imannya sedang menanjak. Orang yang gemar mengeluh ada kemungkinan orang itu sedang lupa bersyukur. Orang yang gemar posting ’kemewahan’ ada kemungkinan orang itu sedang butuh pengakuan. Dan banyak kemungkinan-kemungkinan lainnya.

Nah, kalau memang kita sangat peduli penampilan, berhati-hatilah menampilkan diri di akun Facebook kita. Tentu aturan ini tidak berlaku bagi kita yang tidak peduli apa kata orang.

  1. Wall dan Inbox itu beda
Yup! Wall dan Inbox itu sama pembuat Facebook sengaja dibedakan karena memang fungsinya berbeda. Jadi, kalau ingin bicara ’in private’ ada baiknya di dalam Inbox saja. Sementara, Wall itu ibaratnya pekarangan rumah. Apa yang kita pajang di situ akan dapat dilihat siapapun yang melintas. Wall itu memang pantas untuk ruang ‘pameran’. Jadi pilah-pilah lah terlebih dahulu, kira-kira "produk" apa yang ingin dipamerkan. Produk itu ya status, note, foto dan video yang kita punya.

  1. Berdoalah dalam kesendirian
Seringkali ditemukan status Facebook yang isinya tentang doa-doa kepada Tuhan. Pertanyaannya,  mengapa doa itu ditulis di status Facebook kalau memang ditujukan kepada Tuhan? Kalau memang niatnya berdoa, bukankah lebih tepat kalau  status itu cukup disimpan dihati lalu disampaikan kepadaNya pada waktu-waktu yang memang tepat. Misalnya, setelah shalat. Karena, setahu saya, Tuhan enggak punya akun Facebook.

Sederhananya, Facebook itu ibarat pisau. Harus hati-hati menggunakannya. Dia bisa banyak menolong. Atau malah bikin kita jadi orang yang perlu ditolong. Wallahua’lam.

1.03.2012

When a "King" is Tweeting


Following or to be followed. That is the spell of Twitter.

Personally, until now, I don’t like to tweet. I think, it is a kind of talking too much which is sometimes less in meaning. Talking too much is also vulnerable of slip of tongue and wrongdoing.

Communication is irreversible. Once a message is sent, its effect can’t be remove or even reduced. Even tough, we apologized for any wrong messages we had shared.

Until this news grabbed my intention. Rupert Murdoch has a twitter account!

He is a world class media magnate. He has been listed many times in Times and Forbes as one of the richest and most influential person in the US and even in the world. His influence passes over his eighty years old of age.

Social media has been associated with the young generation. Therefore, news is just created when a quite old man with powerful magnitude uses a social media to get him more connected to the world.

He personally knows the power and magnitude for being a twitter man. In one of his earliest 24 tweets Rupert Murdoch noted, "I'm getting killed for fooling around here and friends frightened what I may really say."

Until this article is written, Murdoch has had 77,818 followers just in three days. He only follows five people. Well, those five people must be very influential persons for him.




It reminds me of Ali bin Abi Thalib’s , one of the earliest Moslem’s leaders, message, “unzur maa qoola wa laa tandzur man qaala.” Observe what is said and don’t observe who says it.

The Murdoch phenomena and similar cases clearly negate Ali’s message. Most people clearly tend to only pay more attention to those with power, fame, and influence. One of the reasons, only those people who really are newsy.

So, if we don’t have big number of followers on our Twitter account, it is crystal clear tells us that we are not yet famous, powerful or influential. Thus, don’t ask someone to follow us either! J

1.01.2012

It should not always be something big

=A New Year reflection=

Each year, everyone celebrate this, the New Year. And by the end of a year, each one of us comes with the same question, “what I have done this year?” Some of us feel blessed, happy or disappointed.

Just a few days ago, I went back home from the office with my friend by train. A minute before we separated, he told me that at the end of each year he felt disappointed for not having any achievement.

Just before saying that question, he told me some stories of his friend big successes. One of his friends is now pursuing PhD in the US, while the other one had written some books. For him, those are big achievement, bearing in mind that each one of them are not too smart and coming from the less fortunate social and economic class.

I thought that was a quite kicking question. Then as he left me, I had been thinking of the same thing, “what I had done this year?”

After wondering myself, then I came up with this thought.

When we think about an achievement, perhaps, we usually come up with the same conception that it should be something big. Well, I said, definitely it should not always be that way….

An achievement is every single thing that we have done toward a progress. It isn’t necessarily big, enormous, tremendous or excellent. It should be very personal and detail.

Achievements, just to mention a few, are to be able for not coming late at the office as well as for not coming late at home; to replace the baby’s diapers better; to generate and donate more money for other people, even tough it was just a penny; to attend friend’s wedding more frequent than the previous year; to organize files better; to call parents more frequent; to wake up earlier; and to park car better.

‘Big Achievements’ of course are really tempting. Unfortunately, the fact is, not everyone could have such a big achievement. Considering this; there are only small numbers of positions available for high ranking officials; not everybody have adequate spare time spent to write a books. Therefore, achievement itself needs specific and special circumstances. That is why not every one could achieve it.

Despite focusing on such big achievements, why don’t we take a look at to our ‘small’ achievements which we really need a lot of efforts to achieve it? I am sure, putting back book we read to its book-case is not an easy job for those who are used to put their book at any places. So, I believe, putting back book to its case after reading it is an achievement.

If we are willing to be more attentive, focus and appreciative to our small achievements, we will always be grateful for every years that we had passed through. Moreover, we definitely will always be thankful to God for every ‘little’ thing He gave.

Well then, happy New Year! Wishing us all the best for this coming year, 2012!