12.30.2009

Receh

Saya biasa ngumpulin uang receh kembalian di satu tempat. Pelan tapi pasti uang receh itu akan menumpuk. Nilainya yang tadinya ‘receh’ dan cuma cukup buat beli shampoo itu pun jadi lebih bertaji. Kalau ditotal nilainya bisa ratusan ribu. Lumayan cukup buat beli shampo sachetan satu dus. Tapi, karena kerecehannya itulah seringkali bikin saya kurang peduli kabarnya. Apalagi lokasi tabungan receh itu tidak istimewa yaitu bersebelahan dengan tumpukan koran bekas. Padahal di balik kerecehannya itu, si uang receh sering jadi begitu penting di saat-saat genting (baca: boke bin kere). Kadang kecewa juga. Karena ternyata uang receh yang dengan penuh kesabaran dan ketelatenan dikumpulkan itu jumlahnya tidak sesuai perkiraan. “Seharusnya si receh sudah memenuhi tabungan. Tapi kenapa gak penuh-penuh juga?" Kalau sudah begini, mesin buruk sangka langsung bekerja. “Ah, jangan-jangan si mbak (pembantu)....” Berikut daftar alasannya. Cuma si mbak yang bisa leluasa masuk kamar ketika tidak ada siapapun di rumah kecuali dirinya. Apalgi tabungan ini begitu ekstrovertnya. Dia hanya berupa wadah tanpa penutup, yang tentu saja, sangat mudah bagi siapa saja untuk menjangkau isinya. Tapi itulah. Seringkali kesal alang kepalang kalau tahu ternyata tabungan receh itu jumlahnya tak sesuai perkiraan. Maklum, lagi butuh *banget*. Satu waktu saya lagi pulang kantor. Seperti pada umumnya hari-hari lain, lewat Jalan Sudirman yang macetnya ampun-ampun itu. Di pertigaan sebelah gedung Sampoerna Strategic Building ada tukang atur jalan yang bersemboyan, “Yang bayar lewat duluan”. Jujur saja, seringkali jengkel juga dibuat ulah mereka. Bukan tidak jarang alih-alih bikin jalan makin lancar, justru bikin jalan makin awut-awutan. Walaupun kasihan juga. Mereka juga pasti terpaksa kerja begitu. Di tengah macet yang menggerutu itu, si bapak pengatur jalan dapet bayaran. Cara dapetnya kurang elegan. Si uang jatuh ke jalan. Lalu dengan cekatan langsung disambar si pengatur jalan. Saya tidak tahu berapa uang yang dia dapat. Yang pasti bukan uang kertas. Dan itu berarti uang recehan yang nilainya tidak lebih besar dari seribu rupiah. Tapi satu hal yang membuat saya tak mau lepas mengamatinya. Dia begitu perhatian dengan uang receh itu. Dia langsung diam dan mengamati dengan sangat dekat uang receh itu. Di dekatkanya ke wajahnya yang dekil. Dari raut mukanya, saya kira, si bapak ingin tahu berapa nilai uang receh yang baru di dapatnya. Sejurus kemudian, si receh dibersihkan dan langsung dimasukkan kantong bajunya. Saya jadi malu sendiri. Betapa saya seringkali melupakan uang receh. Tidak pernah rasanya saya menghormati dan mengargai si receh seperti halnya bapak parkir itu. Recehan di mobil pun seringkali geletak begitu saja. Berantakan. Posisi receh bagi saya hanyalah penyelamat di saat-saat genting bin kepepet bin kantong kering. Uang receh itu seperti halnya makhluk lain yang kurang saya perhatikan karena saya anggap nilainya juga ‘recehan’. Baru ingat makhluk receh itu kalau lagi kepepet. Baru merasa kehilangan kalau tidak ada di genggaman. Tuhan nasehati saya lewat si bapak pengatur jalan. Agar besok lebih peduli dan menghargai makhluk sereceh apapun itu. Karena kita baru tahu betapa berharganya siapapun dan apapun itu ketika ia tak lagi di genggaman.