12.30.2009

Masih di Situ

Satu hari di Oktober 2007. Anak laki-laki itu masih sangat kecil. Tidur manis di buaian ibunya. Ketika sadar anak itu lahap menyantap asi ibunya. Sementara kakaknya yang perempuan duduk di sebelah sang ibu sambil menengadahkan tangan ke pengguna jalan yang melintas. Ketika jalan mampat, seperti sudah terprogram, sang kakak langsung jalan dan dengan muka ‘lempeng’nya menjulurkan tangan ke pengemudi motor dan mobil yang berhenti. Ibu dan dua anak itu pengemis di perempatan UI Salemba, di depan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, dan juga Kampus YAI dan UKI. Ketiganya duduk di trotoar di bawah lampu merah. Karena itu, muka mereka dan si bayi kecil pun sejajar dengan knalpot dan asap limbah kendaraan. Pemandangan itu dua tahun lalu, ketika aku melintasi rute baru menuju kantor baruku saat itu. Kini si bayi di buaian itu sudah besar. Apa karena itu juga saya tidak lagi melihat ada ibunya di sekitarnya. Si bocah lelaki dan sang kakak pun nampak mandiri di usianya yang masih sangat belia. Sekalipun berpeluh, tidak ada keluh di wajah mereka. Karena memang mereka terkondisikan untuk melihat dunia dengan cara seperti itu sejak mereka belum mengerti apa-apa. Sepanjang dua tahun itu tidak pernah serupiahpun saya berikan ke anak itu. Sepanjang waktu yang lewat itu saya selalu berkeyakinan bahwa memberikan serupiah saja ke anak itu sama saja dengan memakunya untuk terus hidup dengan cara meminta-minta. Kenyataannya, dua tahun berlalu, kedua anak itu tetap ada di situ. Bahkan kali ini mereka terlihat jauh lebih mandiri dengan tanpa ibu di samping mereka. Saya sama sekali tidak tahu bagaimana kabar ibunya. Namun, yang pasti si anak terlihat riang menjalani profesi yang diwariskan dari ibunya. Dua tahun berlalu, dan saya tidak berbuat apa-apa untuk mereka. Termasuk, bisa jadi, jutaan orang yang lewat di depan mereka. Jutaan orang itu: dosen, mahasiswa, peneliti, aparat pemerintah, polisi, satpol PP, pelajar, ustad, wartawan, menteri, anggota dewan, hakim, jaksa, seniman, dan segala rupa profesi lainnya. Antara acuh tidak acuh. Antara peduli tidak peduli. Faktanya, dua anak itu masih di situ.