12.30.2009

Jejak Air

Semua berubah. Ada yang membaik, ada yang memburuk. Seperti air yang mengalir dari matanya. Dari jernih lalu berubah-ubah hingga tiba di muara. Air itu ada yang tetap jernih atau mengeruh dari asalnya. Jalur yang dilalui mengubahnya jadi lebih jernih atau bahkan lebih kelabu. Kikis tanah bisa mencoklatinya. Lalu dalam perjalanan, pasir dan bebatuan menyaring air dari guguran tanah yang mencoklati. Ketika air terus mengalir ia akan tidak berbau. Ketika ia diam ia bisa membusuk. Walaupun kadang dalam hening dan tenangnya air juga bisa mengendapkan kotoran. Mungkin karena itu juga sewaktu-waktu kita perlu tenang dan hening agar bisa lebih jernih berpikir dan merasa. Hidup kita ini memang seperti perjalanan air dari sumber ke muaranya. Ada yang menjadi lebih baik atau sebaliknya. Liku jalur yang dilalui adalah gelombang hidup yang mewarnai. Air di matanya adalah kelahiran manusia. Hilir adalah kematian. lalu muara di laut adalah kehidupan nanti. Sangat luas dan seperti tak berbatas. Air memang bisa jernih jika tidak tersentuh sehinga murni sejak muncul di hulu dan tiba di muara. Tapi itu juga bisa berarti air itu belum teruji sehingga pantas akan selalu sejernih asalnya. Tapi alur sungai tidak seperti itu. Akan selalu ada limpahan guguran erosi tanah, buih sabun dari rumah tangga, limbah tinja manusia, renik kotoran ikan, dan buangan pabrik mematikan. Seperti hidup. Selalu akan ada warna-warni, naik turun, pasang surut, hitam putih, dan riak gelombang. Air akan berarti ketika berguna di sepanjang lintasan yang dilalui. Agar tepi menghijau, ikan betah dan kerasan, dahaga lepas, generator listrik berputar, kotor badan dan pakaian luruh. Walaupun memang untuk itu air akan mengeruh. Seperti air di lintasan, hidup pun seperti itu. Harus siap keruh agar bisa lebih berarti. Lalu berharap ada pasir yang menyaring, ikan sapu-sapu yang membersihkan, dan tetumbuhan yang menyerap kotoran. Agar si air tiba di muara dalam kejernihan.