2.02.2012

Optimalisasi Diplomasi via TIK

photo: www.nicelylaptops.blogspot.com

Pemahaman yang sudah sangat populer dan karenanya terkesan klasik. Bahwa, Indonesia tidak lagi mendayung di antara dua karang seperti gagasan yang muncul di tengah suasana perang dingin. Saat ini, diplomasi dalam arti luasnya, melibatkan semakin banyak aktor. 


Diplomasi pun menjadi pekerjaan yang semakin dinamis, kompleks dan rumit. Apalagi, kondisi tersebut terjadi di tengah perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang demikian gesit dan progressif.

Portal berita berkembang biak begitu cepat. E-mail, media sosial dan blog mewabah pesat. Wajar jika nyaris tidak ada setiap jengkal peristiwa di muka bumi ini yang luput dari pantauan.

Sebagai mesin inti pelaku diplomasi, Kementerian Luar Negeri RI (Kemlu) menyadari dinamika tersebut. Penguasaan dan pemanfaatan TI dan komunikasi (TIK) lalu dibidik sebagai bagian penting dari strategi diplomasi.

Pemahaman itulah yang mendorong diselenggarakannya talkshow, ”Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi untuk Kemlu yang lebih baik” pada hari Rabu, 1 Februari 2012 di Ruang Nusantara, Kemlu.


Beberapa panelis yang hadir yaitu Kepala Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4), Kuntoro Mangkusubroto dan mantan Presiden Direktur IBM Indonesia, Betti Alisjahbana; wakil dari Pemerintah Kota Surabaya dan Unit Pusat Komunikasi Kemlu.

Lebih dari 300 orang hadir pada acara tersebut yang sebagian besar merupakan pegawai Kemlu. Termasuk di antaranya, Menteri Luar Negeri RI, Marty Natalegawa. Tingginya tingkat keikutsertaan menunjukkan tingkat perhatian yang tinggi terhadap persoalan TIK dalam diplomasi.

TIK merupakan alat diplomasi yang sangat dapat diandalkan. Namun, keandalannya masih terkendala cara kerja dan mindset lama birokrasi. Kuntoro bahkan menyebut birokrasi sebagai kendala terbesar yang harus diselesaikan.

”Sekalipun telepon bisa tembus tembok. Tapi telepon tidak bisa tembus birokrasi”, guyonnya.

Ia menambahkan bahwa TIK seharusnya dapat dimanfaatkan penggunanya sebagai alat untuk knowledge management. Pengetahuan yang tersebar di banyak kepala dapat dikelola dan dirapihkan sedemikian rupa dalam satu platform. Dengan begitu, pengetahuan tidak lagi dikuasai oleh satu orang namun menjadi pengetahuan organisasi dan bersifat kolektif.

Sementara Betti menyebutkan bahwa pemanfaatan TIK dapat mendukung tiga prinsip utama dalam manajemen, yaitu: tranparansi, partisipasi dan kolaborasi.

Tentu kita mafhum bahwa transparansi akan mendorong hasil kerja yang lebih baik lagi karena kinerja dapat dipantau dengan mudah. Partisipasi akan mengundang munculnya berbagai informasi dan ide dari semakin banyak pihak tanpa melihat posisi maupun jabatan. Sementara kolaborasi merupakan kata kunci dari koordinasi. Walhasil, setiap keputusan pun dapat lebih komprehensif dan terukur.

Wakil dari Pemerintah Kota Surabaya lalu berbagi cerita tentang pengalaman pemanfaatan TIK yang berujung dengan segudang prestasi. Pegawai Pemkot Surabaya bahkan bisa memperoleh pendapatan lebih melalui sistem informasi manajemen kinerja untuk memperoleh Tunjangan Prestasi Pegawai (TTP) dengan memanfaatkan TIK.

Pusat Komunikasi menyampaikan bahwa Kemlu sedang membangun cetak biru TIK. Cetak biru tersebut diharapkan dapat menjadi petunjuk komprehensif penggunaan TIK dalam mendukung kinerja Kemlu.

Berdasarkan pengamatan penulis, penguasaan dan kesadaran pegawai Kemlu dalam menggunakan TIK sebenarnya sudah sangat tinggi. Memang, pernyataan tersebut baru sebatas klaim dan belum didukung data riil.

Merujuk dari lingkungan terdekat saya, setidaknya lebih dari separuh diplomat menggunakan Blackberry. BBM minimal merupakan perangkat komunikasi yang dinilai paling efisien mendukung kinerja. Selain itu, hampir seratus persen diplomat merupakan pengguna email aktif. Demikian halnya dengan tingkat pemanfaatan media sosial seperti Facebook dan Twitter. Tidak hanya itu, berbagai layanan online berbagi dokumen seperti Dropbox dan Sugarsync juga sudah digunakan.

Namun, hal tersebut tidak dengan sendirinya mengubah secara dramatis sistem kerja terutama dalam hal surat menyurat. Yang paling kentara, email belum ditetapkan sebagai salah satu medium resmi surat menyurat. Walhasil, penggunaan kertas masih sangat tinggi. Selain itu, penyebaran informasi pun menjadi lebih lamban.

Akun email resmi Kemlu pun baru digunakan oleh segelintir pegawai. Berdasarkan pengamatan penulis, hanya Direktorat Informasi dan Media serta Pusat Komunikasi yang konsisten memanfaatkan akun email Kemlu sebagai sarana komunikasi informal pekerjaan.

Beberapa alasan yang paling mengemuka diantaranya: kapasitas ukuran file attachment yang terbatas (maksimal 10 MB); kecepatan penerimaan berkas yang relatif lamban (dalam beberapa kasus email tidak sampai ke tujuan) dan keterbatasan layanan ekstra. Intinya, keterpercayaan penggunaan akun email resmi nampaknya masih rendah.

Penggunaan akun email konvensional seperti Gmail dan Yahoo masih sangat dominan. Kedua akun email tersebut memang menawarkan jauh lebih banyak kelebihan. Misalnya, pengiriman yang relatif cepat dan kapasitas file attachment yang relatif besar (maksimal 25 MB). Itu masih didukung berbagai layanan ekstra.

Gmail misalnya. Pemiik akun Gmail dapat terkoneksi langsung ke Google+, Blogspot dan Youtube. Belum lagi layanan tambahan seperti Google Doc, Google Books, Google Calendar, Google Translate dan Google Maps. Satu lagi, akun email populer biasanya sudah memiliki sistem sendiri untuk memagari users dari serangan spam dan virus. Tentu bukan perkara mudah memigrasikan penggunaan email pegawai Kemlu dengan ‘kompetitor’ sebegitu kuat.

Keamanan internet hambat pemanfaatan TIK

Keamanan internet menjadi persoalan yang mendapat perhatian khusus. Wajar, karena sejak dulu pekerjaan diplomasi sangat lekat dengan unsur ’kerahasiaan’. Sayangnya, internet hingga saat ini belum dapat menjadi sandaran terpercaya dalam soal menjaga kerahasiaan. Bisa jadi, karena itulah Kemlu belum berani menetapkan internet sebagai salah satu saluran komunikasi resmi (formal).

Betti menuturkan bahwa berdasarkan pengalamannya, hanya sekitar 20 persen pesan yang disampaikan melalui TIK yang bersifat rahasia. Secara implisit sepertinya Betti ingin menyatakan bahwa setidaknya masih ada 80 persen pesan yang dapat disampaikan melalui saluran TIK. Ia pun memberikan tips untuk dapat menulis pesan yang tepat.

”Bayangkan hidup seperti di Akuarium. Dengan begitu, kita akan selalu merasa dilihat oleh banyak orang sekalipun tulisan kita buat sendirian”, ujarnya.

Lain halnya dengan Kuntoro. Menurutnya, hal mendasar yang harus dapat dijawab terlebih dahulu adalah definisi rahasia. ”What is rahasia?”, katanya. Ia menambahkan bahwa pemanfaatan TIK tidak akan mencapai hasil yang memuaskan selama esensi pekerjaan seperti paper flow tidak dituntaskan terlebih dulu.

Kuntoro juga sempat membahas esensi dari pemanfaatan penggunaan TIK. Sebelum mengambil sebuah program berbasis TIK, perlu ditanyakan terlebih dahulu apa manfaatnya. ”Apa hanya untuk terlihat keren?” candanya. Kuntoro pun menyinggung program live streaming talkshow ini yang dapat disaksikan secara langsung oleh 119 perwakilan RI di luar negeri.

Menurut Kuntoro, merubah mindset merupakan hal paling mendasar sebelum hijrah ke TIK. Ia menegaskan, bahwa kantor dapat dibangun dengan sangat bagus. Namun, kalau cara kerja orang yang mengisi kantor itu masih gaya 50-an, maka dapat dipastikan tidak akan ada yang berubah.