Saya membayangkan, pemimpin-pemimpin yang tetap hidup sederhana sekalipun pendapatan tidak lagi sederhana.
Saya membayangkan, pemimpin-pemimpin yang mau berjejal-jejal dan bermandi keringat di dalam Kopaja, Metro Mini, Bus Kota dan gerbong-gerbong kereta.
Saya membayangkan, pemimpin-pemimpin yang terhimpit macet tanpa kawalan kendaraan aparat dan raungan sirene yang membisingkan.
Saya membayangkan, pemimpin-pemimpin yang tidak akan pernah menggunakan kendaraan plat merahnya untuk urusan-urusan pribadi.
Saya membayangkan, pemimpin-pemimpin yang gemar berjalan kaki untuk melihat dari dekat bagaimana rakyatnya berjuang mencari nafkah di pinggir-pinggir jalan, di atas dan kolong jembatan, di stasiun, di terminal dan di pinggir kali.
Saya membayangkan, pemimpin-pemimpin yang selalu punya waktu untuk bicara dengan ’orang-orang biasa’ untuk mendengar hiruk pelik kehidupan mereka.
Saya membayangkan, pemimpin-pemimpin yang tidak bisa menikmati makanannya ketika masih banyak rakyatnya yang belum makan.
Saya membayangkan, pemimpin-pemimpin yang selalu ingat bahwa setiap rupiah yang dibelanjakannya adalah uang amanat rakyat.
Saya membayangkan, pemimpin-pemimpin yang dalam heningnya malam mengadu pada Tuhan seraya memohon ampunan atas kealpaan-kealpaannya sebagai pemimpin hari itu.
Saya membayangkan, pemimpin-pemimpin yang memulai harinya dalam dinginnya pagi dini hari dengan memperbaharui dan memperkuat komitmennya pada Tuhan untuk berbuat yang lebih baik untuk rakyatnya.
Dan, saya membayangkan, hidup di negeri para pemimpin itu.
Sedikit potret rakyat Indonesia di bilangan Jalan Casablanca, Jakarta (26/02/2012) |