dari panggung politik AS ke rumah sendiri
foto dari www.abconline.com |
Rabu, (11/04), salah satu anggota tim
strategi Partai Demokrat, Hillary Rosen, menyebut istri Mitt Romney, Ann
Romney, sebagai calon ibu presiden yang tidak pernah bekerja satu hari pun
dalam hidupnya. Belakangan, Rosen meminta maaf atas pernyataannya tersebut.
Hillary Rosen (foto dari www.qeerty.com) |
Ann Romney bersama suami (foto dari www.amny.com) |
Obama gerah dengan pernyataan rekan
satu partainya tersebut. Seakan membantah pernyataan rekannya, Obama menegaskan
bahwa tidak ada pekerjaan yang lebih berat daripada menjadi seorang ibu rumah
tangga.
Pernyataan Obama tersebut tidak hanya
menggambarkan keelokan panggung politik dan demokrasi AS. Namun juga
menunjukkan bahwa persaingan politik tidak melulu sebatas manuver untuk memperebutkan
kekuasaan. Jauh di balik itu, politik sebenarnya memperjuangkan nilai-nilai kehidupan
yang mendasar.
Dalam kasus ini, nilai itu adalah bahwa
ibu rumah tangga bukanlah pekerjaan 'rendahan'. Dan karenanya, mereka yang
memilih untuk tidak berkarir/bekerja demi mengurus rumah tangga, sangat pantas untuk
dihargai.
Istri Obama, Michelle, dalam salah
satu post twitter-nya pun menegaskan,” Every mother works hard, and every woman
deserves to be respected."
Peristiwa di AS sana sebetulnya juga menyentuh
kehidupan kebanyakan orang di Indonesia saat ini. Termasuk saya.
Sejak akhir Februari tahun ini, kami
tidak lagi dibantu oleh seorang asisten rumah tangga. Karena itu, pekerjaan
rumah tangga seperti mencuci, menyetrika baju, menyapu dan mengepel lantai dan
lainnya harus kami sendiri yang kerjakan.
Praktis, ketika saya bekerja, istri
saya ‘hanya’ ditemani seorang bayi berusia satu tahunan. Tentu semua mafhum,
bahwa di usia itu, anak kami masih sangat bergantung kepada orang tuanya.
Apalagi, istri saya berkomitmen untuk terus memberikan ASI ekslusif hingga
tuntas.
Para ibu rumah tangga paham betul, betapa
tidak mudahnya mengurus bayi dan memberikan ASI ekslusif sambil menyelesaikan pekerjaan
rumah tangga, tanpa suami dan asisten rumah tangga.
Satu waktu, saya bertanya ke istri
saya, bagaimana dia mencuci setumpukan piring di dapur. (Sebagai informasi,
kami tinggal di rumah dengan dua lantai. Kamar kami di lantai dua. Sementara
dapur di lantai bawah). Kata istri saya, dia mencuci piring sambil menggendong si
bayi (yang saat ini sudah sekitar 10 kg bobotnya).
Untuk mandi dan menunaikan (maaf) ‘panggilan
alam’ pun ada kalanya istri terpaksa membuka pintu kamar mandi agar bisa lebih
mudah memantau si kecil. Bahkan, ada kalanya istri terpaksa menyusui anak
sambil memenuhi (maaf lagi) ‘panggilan alam’. Betul-betul tidak mudah.
Karena semua itulah saya berjanji pada
diri sendiri untuk berupaya semaksimal mungkin untuk dapat menuntaskan beberapa
pekerjaan rumah tangga sebelum berangkat ke kantor. Paling tidak dengan begitu,
istri saya dapat lebih berkonsentrasi penuh untuk mengurus si kecil.
Menjadi ibu rumah tangga merupakan
pilihannya. Bukan karena dia ‘belum/tidak laku’ di dunia kerja. Sebelum menikah
dengan saya, ia sempat bekerja di beberapa perusahaan cukup besar dengan
pendapatan yang relatif lumayan. Ia memilih untuk tidak berkarir lagi karena
satu alasan, ingin fokus mendidik dan mengurus anak (dan suami juga tentunya).
Keputusan itu pun tidak ada campur
tangan saya sebagai suami. Saya memberikan kebebasan baginya untuk bekerja
dan/atau tidak bekerja. Karena saya yakin, istri sudah sangat cerdas dan dewasa
untuk mengambil keputusan yang menurutnya terbaik buat keluarga.
Lalu, ada yang bertanya, “untuk apa
sekolah tinggi-tinggi kalau hanya menjadi ibu rumah tangga?” Istri saya, satu
waktu, menjawab pertanyaan itu,”justru perempuan perlu sekolah tinggi-tinggi
supaya bisa menjadi ibu yang baik.”
Bagaimanapun, saya tetap menghormati
pilihan mereka (para ibu) yang memilih untuk bekerja. Pasti mereka punya alasan kuat masing-masing. Bahkan, saya sangat kagum dengan
para ibu yang dapat sukses berkarir sekaligus berhasil mendidik dan membesarkan
anak-anaknya.
Saya faham, selain mengurus pekerjaan rutin rumah tangga, mendidik dan mengurus anak sudah jauh lebih melelahkan ketimbang pekerjaan kantor yang saya jalani selama ini. Karena itulah saya yakin, bahwa ibu rumah tangga betul-betul pekerjaan yang sangat mulia.
Sholat "dikawal" anak (03/03/2012). |