gambar pinjam dari www.getentrepreneurial.com |
Revolusi teknologi komunikasi dan informasi telah mengubah tata kelola kehidupan saat ini dengan sangat dramatis. Percepatan pertumbuhan, perkembangan, dan penggunaannya pun semakin meningkat dari tahun ke tahun. Revolusi komunikasi dan informasi pun pada akhirnya mendorong terjadinya revolusi dalam berdiplomasi.
Pengguna internet dalam 10 tahun terakhir tumbuh lebih dari lima kali lipat. Pada tahun 2000 pengguna internet di dunia baru 360 juta orang. Tahun ini, pengguna internet diperkirakan telah menembus angka 2 milyar orang.
Jejaring sosial via internet seperti facebook dan twitter tumbuh pesat dan digandrungi banyak orang di dunia. Semua fenomena tersebut merupakan bukti nyata bahwa inilah masanya pola tata kehidupan dan interaksi baru dengan asas: kecepatan, ketepatan, dan kesederhanaan.
Internet pun tidak bisa dipungkiri memiliki dampak luar biasa terhadap pola prilaku masyarakat dan proses pengambilan kebijakan. Revolusi sosial politik di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara yang terkenal dengan sebutan Arab Spring merupakan salah satu bukti di antaranya.
Jauh sebelum Arab Spring, sebut juga fenomena BlackBerry-dan kampanye Obama, Wikileaks terkait dokumen rahasia AS di Afganistan, serangan Israel terhadap kapal kemanusiaan Mavi Marmara, hingga kasus Ariel-Luna-Cut Tari dan Keong Racun Shinta-Jo-jo.
Pantas jika berbagai perkembangan yang dinilai kontrapoduktif terhadap peradaban internet pun selalu menyita perhatian banyak orang dan dinilai kontroversial. Misalnya pelarangan Facebook di Iran saat kampanye pemilihan presiden tahun lalu, pelarangan Google di Cina, hingga pelarangan Blackberry di Arab Saudi dan Uni Emirat Arab yang kabarnya juga sedang dipelajari pemberlakuannya di Indonesia.
Semua itu menguatkan bukti kedigdayaan internet sebagai medium komunikasi dan informasi yang berpengaruh. Berbagai inovasi dan kemudahan yang ada di dalamnya membuat dunia tidak saja dilipat, bahkan dikantongi. Kedigdayaan dunia maya telah meruntuhkan batas-batas negara.
Tidak saja di dunia maya batas negara seperti tiada. Dalam dunia non-maya pun batas-batas negara semu walaupun sejatinya masih ada. Manusia kini dapat dengan mudah bergerak dan berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya dalam waktu singkat tanpa peduli jarak. Untuk itu, revolusi transportasi massal berperan besar.
Mengimprovisasi Diplomasi Total
Di tengah kondisi tersebut, muncul gagasan diplomasi total. Konsep dasar diplomasi total pernah disampaikan Dr. Mohammad Hatta pada periode awal kemerdekaan. Namun faktanya, diplomasi total baru kembali semarak dibicarakan ketika Dr. Noer Hassan Wirajuda berulangkali mengampanyekannya saat memimpin Kementrian Luar Negeri RI.
Diplomasi total menegaskan bahwa saat ini, diplomat bukan lagi aktor tunggal yang berjuang sendirian di garda depan untuk memperjuangkan kepentingan nasional di forum bilateral, regional maupun internasional. Diplomasi kini telah dimiliki semua elemen bangsa, mulai dari pemerintah, swasta, kelompok, hingga individu. Konsep tersebut muncul seiring bergesernya pemahaman tata pergaulan di dunia yang awalnya didominasi negara menjadi tata pergaulan yang multi aktor.
Diplomasi total diibaratkan permainan sepakbola bergaya Total Football. Dalam gaya permainan itu, semua pemain dituntut untuk mampu bermulti peran. Setiap pemain harus dapat bertahan dan menyerang dengan sama baiknya. Dalam konteks hidup berkebangsaan, semua elemen bangsa perlu ikut serta bahu membahu dalam memperjuangkan kepentingan nasional dalam panggung diplomasi.
Kondisi tersebut sepintas lalu terlihat seperti memudahkan peran diplomat dalam berdiplomasi di forum internasional. Namun, di tengah gelombang pengambilan peran diplomasi oleh semua elemen bangsa tersebut, muncul sebuah pertanyaan besar. ”Di manakah signifikansi diplomat ketika semua pihak bisa berdiplomasi?”
Untuk itu pantas rasanya jika kita menengok lagi aturan hukum internasional yang menjadi rujukan penting semua diplomat, yaitu Konvensi Wina 1961. Pasal 3 konvensi tersebut menyebutkan lima fungsi misi diplomatik di luar negeri, yaitu: representing, protecting, negotiating, reporting, dan promoting.
Setiap individu itu diplomat
Secara kuantitatif jumlah diplomat Indonesia jelas sangat tidak sebanding dengan jumlah penduduk yang diwakilinya. Jumlah diplomat saat ini sekitar 1500 orang. Bandingkan dengan jumlah rakyat Indonesia yang telah mencapai 237 juta jiwa.
Saat ini, WNI yang berada di luar negeri telah menembus angka 3 juta jiwa. Dapat dibayangkan agregat potensi yang dimiliki Indonesia dari WNI di luar negeri sebanyak itu. Maklum, dalam konsep diplomasi total, setiap individu dapat melakukan fungsi diplomasi.
Publik dunia bisa melihat dan menilai Indonesia dari sosok warga indonesia orang per orang yang mereka temui, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Citra yang muncul dari situ membentuk citra bangsa Indonesia secara keseluruhan. Kondisi tersebut memungkinkan setiap warga negara Indonesia bisa melakukan fungsi representing dan promoting.
Peningkatan potensi peran diplomasi setaip individu itulah yang pada gilirannya dapat menggerus profesi diplomat. Itu dapat terjadi ketika diplomat gagal meningkatkan kualitas pribadi hingga titik tertingginya.
Ketika teknologi komunikasi dan informasi tidak semaju sekarang, fungsi reporting dari seorang diplomat sangat bisa diandalkan. Namun, ketika dunia seperti menyempit seperti saat ini, fungsi reporting pun dengan sendirinya tergerus. Kantor pusat bisa dengan mudah melihat, membaca, dan menganalisa tantangan dan potensi negara akreditasi cukup dari balik layar televisi, radio siarang internasional, ataupun internet.
Kondisi tersebut membuka tantangan baru bagi para diplomat untuk dapat melaporkan sebuah peristiwa dan analisa lebih dari yang terlihat di media massa. Diplomat harus bisa masuk lebih dalam dan lebih dekat ke persoalan yang mengemuka. Walhasil, laporan yang masuk ke pusat pun tidak sebatas copy-paste dari media massa di negara akreditasi.
Diplomat playmaker diplomasi
Konsep diplomasi total menyiratkan terdegradasinya peran diplomat. Representing, reporting, promoting, dan protecting secara de jure memang masih di tangan diplomat. Namun secara de facto diplomat jelas tidak lagi sendirian.
Hanya negotiating yang fungsinya relatif utuh berada di tangan diplomat. Keutuhan fungsi negotiating merupakan ilustrasi bahwa hanya fungsi diplomasi yang bersifat otoritatif dan memerlukan profesionalitas yang masih dikuasai diplomat. Karena jelas, persyaratan tersebut tidak dimiliki sebagian besar pelaku diplomasi total lainnya.
Keterdegradasian peran dan fungsi diplomat jika tidak disikapi dengan tepat dan jitu merupakan ancaman sekaligus tantangan. Itulah mengapa seorang diplomat perlu dapat mengambil peran sentral dan strategis dalam panggung diplomasi total.
Kegagalan mengambil peran pada gilirannya akan menggeser diplomat ke tepian. Hingga pada titik terekstrimnya, rakyat tidak lagi merasa perlu diplomat. Karena itulah perlu kembali dirumuskan dan diidentifikasi peran diplomat di tengah gelanggang diplomasi total. Sebut saja konsep itu, Diplomat Total.
Dalam konsep tersebut, diplomat harus dapat meredefinisi dan mereposisi diri di tengah pola perilaku kehidupan di dunia yang sudah sangat berubah. Dengan identitas diri yang aktual, diplomat diharapkan bisa mengambil posisi dan peran yang tepat sebagai aparatur negara dan abdi rakyat.
Diplomat juga harus memiliki visi jauh ke depan sehingga bisa membekali diri selangkah atau bahkan beberapa langkah lebih maju daripada orang kebanyakan. Melek teknologi komunikasi dan informasi adalah sebuah keharusan selain keterampilan mendasar lainnya seperti, menulis, fotografi dan videografi, public speaking, bergaul, dan kekayaan berbahasa asing.
Dalam konsep diplomasi total, seorang diplomat perlu mampu menjadi playmaker. Sebagai ilustrasi, dalam ranah sepakbola, peran tersebut berhasil dilakukan Johan Cruyff, kapten tim Belanda di masa keemasan Total Football tahun 70-an. Atau, diplomat dapat berperan sebagai Rinus Michels, pelatih jenius Belanda yang menemukan konsep permainan Total Football.
Seperti halnya pemain dalam konsep Total Football, seorang diplomat dituntut untuk dapat berperan sama baiknya sebagai kiper, bek, libero, sayap, pemain tengah, ataupun striker. Dengan begitu, diplomat dengan sendirinya harus memiliki wawasan luas, keilmuan dan pengetahuan yang lintas sektor, keterampilan yang kaya dan budi pekerti yang luhur.
Ada sebutan lawas, bahwa diplomat itu hanyalah ”master of none”. Itulah hasil simplifikasi untuk menggambarkan bahwa hampir sebagian besar diplomat tahu banyak hal, namun tidak sampai menjadi ahli.
Setidaknya ke depan, diplomat dapat perlahan mengikis sebutan kurang sedap itu dan menggantinya dengan sebutan yang lebih membanggakan. Bukan mustahil sebutan itu berganti menjadi ”master of many”. Itulah mengapa bukan hanya diplomasi yang perlu total, namun juga diplomatnya. Tidak mudah memang, namun jelas, itu bukan tidak mungkin.
Setidaknya ke depan, diplomat dapat perlahan mengikis sebutan kurang sedap itu dan menggantinya dengan sebutan yang lebih membanggakan. Bukan mustahil sebutan itu berganti menjadi ”master of many”. Itulah mengapa bukan hanya diplomasi yang perlu total, namun juga diplomatnya. Tidak mudah memang, namun jelas, itu bukan tidak mungkin.